02 November 2009

DIMANA PRESIDEN?

Qin Mahdy/Almuttaqin

Mungkin, inilah salah satu bentuk kekecewaan banyak pihak terhadap sikap Presiden, termasuk saya dan Gus Dur. Mengenai penyelesaian konflik KPK dan Kapolri khususnya masalah Bibit-Candra, seolah-olah kita kehilangan Presiden, dimana Presiden kita? Apakah ia sudah kehilangan kekuasaan? Atau masih ragu-ragu untuk mebuat kebijakan? Sebab, hanya satu solusi yang menurut hemat saya sangat tepat dan cepat untuk dilaksanakan saat ini, yakni Presiden harus mengambil sikap tegas. Antara lain bisa berupa penahanan sementara Kapolri dan Jaksa Agung, supaya mereka tidak mengintimidasi TPF. Sehingga TPF bisa menelaah kasus ini secara utuh. Tidak hanya melihat persoalan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah saja, tapi melihat permasalahan yang lain yang terkait masalah ini, seperti Bank Century, Anggoro dan Anggodo.
Sungguh, di sini benar-benar terdapat tindak kekejaman hukum dan sentimen golongan. Padahal kita sudah demokrasi. Atau ini salah satu bentuk kejahatan demokrasi?
Alaah, tak usah berpusing-pusing. Pokonya masyarakat saat ini sangat menunggu janji Pak Presiden yang pernah ia kumandangkan dulu bahwa akan berdiri paling depan sebagai pembela KPK, jika ada oknum yang berani merusaknya. Kita tunggu saja.

25 Oktober 2009

BIARKAN PEMERINTAH OPTIMIS!

Almuttaqin/Qin Mahdy

Menteri baru, semangat baru! Demikianlah kiranya ungkapan rasa optimisme yang tergambar dalam benak Presiden, Wapres dan masing-masing jajaran menteri yang baru terpilih beberapa hari lalu. Namanya juga baru, tentu otak-otak mereka saat ini memang sedang sangat suci 100% (optimis) untuk memikirkan nasib rakyat kedepan, bahkan diantara mereka sudah ada yang membuat planning, walau nanti pada akhirnya ada sebagian dari mereka yang menyimpang dan mendobrak sumpah jabatannya menjadi pecundang yang hina-dina karena telah dikutuk oleh Al-Qur’an.
Kini masing-masing Menteri sudah diberikan tugas dalam kinerja 100 hari Pemerintahan, seperti yang telah dilakukan oleh salah satu Menteri Dalam Negeri, Ia sudah bergerak ke Sumatra Barat membawa nama Menterinya dalam hal menangani bencana.
Walau di luar sana masih banyak protes terhadap posisi sejumlah Menteri yang dinilai tidak kompeten, tidak profesional dan pembagian yang tidak adil, namun nampaknya ini sudah menjadi hak Priogratif Presiden yang tidak bisa diganggu gugat - bahkan oleh MPR dan DPR sekalipun. Apalagi kita yang cuma bisanya berkoar-koar, berteriak dengan mikrofon di tengah panas sambil membentangkan spanduk yang bertuliskan ”Pembagian Menteri tidak adil! Menteri ini harus diganti!” atau tulisan-tulisan lain yang terkesan sangat menantang.
Mengatasi masalah seperti ini, ada baiknya kita tak usah protes terlalu panjang, karena keputusan ini sudah disahkan dan sudah dijalankan. Biarkan Pemerintah optimis untuk menjalankan semua program yang telah direncanakan untuk kepentingan bangsa dan kesejahteraan sebagai priorotas utama mereka. Presiden kita tentunya lebih terhormat dan bijaksana dari Joss Bush, lebih vocal dari Amadinejad dan lebih pintar dari kita sebagai rakyat. Kita lihat dulu bagaimana program seratus hari ini kedepan, apakah berhasil, atau masih seperti program 100 hari yang direncanakannya pada periode sebelumnya yang mandek? Jika seperti itu, maka di sinilah tugas kita untuk mengingatkan dan meluruskan dimana letak keganjjilan yang mesti dibenahi. Tak usah kita main ribut-ribut atau adu jotos dengan polisi, itu tidak membawa hasil, justru membawa luka. Jika mati pun kita juga bukan atas nama rakyat, tapi atas nama nafsu angkara yang kadang membuat kita lupa dan tak bisa mengendalikan diri. Wallau'alam

20 Oktober 2009

SEJUTA ALASAN UNTUK TOLAK MIYABI

Oleh: Almuttaqin/Qin Mahdy

Miyabi - Sebuah nama yang cukup fenomenal di pekan ini menghiasi gendang telinga anak-anak Negeri, mulai dari mereka yang masih minum ASI hingga bapak-bapak yang sudah beristri. Ini sudah menjadi bagian dari resiko teknologi informasi setelah salah seorang Sutradara kondang Indonesia ingin mempersuntingnya untuk membintangi sebuah film komedi ”Menculik Miyabi” di Indonesia.
Saya sempat tertawa membaca berita ini di salah satu media massa, karena yang terbersit pertama di benak saya adalah harga diri filmmaker Indonesia. Entah mereka berniat lain saya tidak begitu paham, namun sebagai bangsa yang bermartabat dan khususnya bagi filmmaker kita harus cerdas. Kita harus bisa memberikan sesuatu yang berbobot kepada penonton, dan figur seperti ini pantas atau tidak untuk di ekspos kepada jutaan penonton yang mayoritas adalah orang-orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma keagamaan.
Saya sangat mendukung sekali berbagai aksi penolakan kerjasama dengan artis asal Jepang ini oleh berbagai kalangan di laur sana, bukan berarti saya pamer iman, tapi ini menyangkut harga diri bangsa dan perkembangan psikologis remaja kita kedepan. Kita harus berfikir lebih maju, jangan hanya sekedar mementingkan egoisme diri atau golongan, karena di luar sana banyak anak-anak lugu yang mesti dijaga kesuciannya, mesti dibela hak-haknya menyangkut hal-hal fositif.
Ada sejuta alasan mengapa saya menolak Miyabi untuk kerjasama dengan filmmaker kita, namun di sini saya hanya ingin memberikan satu saja yang paling urgensi menyangkut moral, dan ini sangat berakibat fatal bagi perkembangan remaja Indonesia ke depan bila ini terjadi, yaitu secara tersirat Miyabi ingin menyampaikan misi sex bebas bagi jutaan remaja Indonesia yang masih lugu-lugu. Walaupun di dalam filmnya tidak ada adegan-adegan panas umpamanya, namun image Miyabi akan menyampaikan pesan tersebut secara tidak langsung.

15 Oktober 2009

KABINET PROFESIONAL BUKAN PROPORSIONAL PARTAI

Almuttaqin/Qin Mahdy

Pasca kemenangan pasangan SBY-Budiono pada pemilu Presiden Juli lalu, kini politik Indonesia kembali memanas dalam hiruk-pikuk perekrutan dan penyusunan kabinet Indonesia bersatu tahap ke-dua. Seperti era sebelumnya Partai Demokrat dan partai-partai yang mendukungnya sebenarnya sudah diadakan semacam kesepakatan perihal "jatah" kursi kabinet. Misalnya, Partai Demokrar, PKS dan PAN diberikan jatah tiga portofolio. Sementara itu, PKB dan juga beberapa partai pendukungnya masing-masing mendapat jatah kursi. Belum lagi sejumlah nama dari kalangan bisnis yang konon memodali kampanye SBY pada debut Pemilu lalu.
Tentu, kenyataan seperti ini adalah satu hal yang sangat berat bagi SBY demi mewujudkan janjinya untuk menguatkan kekuatan negara dengan sistem presidensial. Kendatipun presiden terpilih memiliki hak priogratif, tetapi jika SBY gagal mengambil kebijakan akomodatif terhadap kepentingan banyak parpol koalisinya, harapan terbentuk pemerintahan efektif melalui penguatan sistem presidensial akan nihil terwujud.
Mau tidak mau, SBY juga harus mengakomodasi parpol-parpol pendukung koalisinya. Bukan hanya terkait dengan alasan kontrak politik, melainkan untuk keberlangsungan pemerintahan ke depan. SBY membutuhkan parpol untuk koalisi di parlemen untuk mendukung kebijakannya. Karena tidak mungkin pemerintahan dijalankan sendirian. Bahkan ini sangat berbahaya jika SBY tidak mengakomodasi parpol pendukung koalisinya.
Namun, di sisi lain SBY tetap dituntut profesional dalam menentukan orang di kabinetnya. Karena seorang menteri berpengaruh besar dalam mengantar kesuksesan pemerintahan. SBY harus memahami, penentuan seorang menteri tidak boleh sebatas berdasarkan pada desakan dan tuntutan kontrak koalisi. Perlu disadari bahwa kabinet adalah forum untuk bekerja, bukan sebagai kavling politik. Jadi tidak ada koalisi dan oposisi di dalamnya karena di balik kemenangannya ada kepentingan rakyat. Rakyat yang selalu berharap pemerintahan dijalankan oleh orang-orang kompeten agar keterpurukan nasibnya berubah ke arah lebih baik.
Seperti pengalaman Kabinet Indonesia Bersatu versi satu, ini harus menjadi pengalaman bahwa mencomot kader partai koalisi tanpa pertimbangan profesional dan kompetensi akan berujung pada kerugian, baik fisik maupun mental bagi bangsa ini. Akibatnya, banyak sejumlah menteri terpaksa didudukkan tidak berdasar. Ada misalnya seorang kader partai yang sama sekali tidak punya pengalaman di bidang perhubungan, tapi diangkat sebagai Menteri Perhubungan. Kader partai lain diangkat sebagai Menteri Pengembangan Daerah tertinggal, padahal ia sama sekali tidak punya expertise, apalagi pengalaman di bidang itu.
Jika SBY kembali mengikuti model rekrutmen menteri seperti masa lalu, keterpurukan pemerintah baru hanya akan menjadi persoalan waktu. Kabinet harus disusun berdasarkan prinsip profesionalisme, bukan proporsional partai. Dahulukan figur yang memiliki kombinasi keunggulan dalam praktisi dan teoretisi. Setiap orang yang ditunjuk harus benar-benar mempunyai moral dan etos kerja yang tinggi, bukan yang sejak awal sudah punya obsesi untuk memperkaya diri atau partai yang diwakilinya.


14 Oktober 2009

PENTINGNYA KEAMANAN UNTUK PERTUMBUHAN EKONOMI

Almuttaqin/Qin Mahdy

Koran SINDO, 25 Juli 2009

Sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak sebelum kemerdekaan 1945 dikumandangkan, sebenarnya telah menggoreskan sebuah catatan penting yang mesti menjadi pegangan kita dalam menelisik problem stabilitas dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Bahwa perekonomian sangat erat hubungannya dengan keamanan, itu bukan lagi sebatas wejangan kosong melompong, tapi justru sudah menjadi konsep nyata yang mesti dipegang erat bagi pemerintahan negara Indonesia.

Ini dapat kita lihat ketika bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda, kemudian disusul Jepang, apa yang terjadi? Ekonomi kita amburadul, sosial terabaikan, sehingga masyarakat pada waktu itu hanya bisa mengkonsumsi makanan seadanya. Padahal mereka memiliki lahan kebun dan ladang yang cukup luas. Ini karena keamanan tidak stabil, rakyat diperas, hasil bumi Indonesia dikuras, alhasil Indonesia waktu itu kehilangan harta kekayaannnya di tanah sendiri.

Masih soal keamanan, pada tahun 1998 tragedi demi tragedi kembali bergejolak. Mulai dari pertarungan etnis di salah satu sisi, pembantaian, hingga Reformasi digulirkan, apa yang terjadi? Indonesia waktu itu kembali mengalami krisis yang berkepanjangan yang imbasnya bisa kita rasakan sampai hari ini. Betapa harga-harga melonjak begitu tajam tak terkendali, angka kemiskinanpun semakin menggelembung dan jumlah itu membuat bangsa ini dikategorikan sebagi bangsa termiskin dan terlemah di dunia.

Dan ternyata pada tahun 2002 tragedi bom Bali 1 juga menyebabkan bangsa ini kembali memasuki masa-masa sulit, walau tidak seganas masa Reformasi. Namun, tragedi ini telah menyebabkan rupiah terperanjat dan ekonomi Indonesia melemah, karena berkurangnya turis dan investor-investor asing yang mau menanam saham di Indonesia. Bom Bali telah menyebabkan IHSG melemah tajam 200 poin dari Rp 9.600 menjadi Rp 9.800 per dolar Amerika (AS).

Baru-baru ini ancaman stabilitas ekonomi kembali menggoncang Indonesia, yaitu ledakan Bom di Hotel JW. Marriott dan Ritz-Carlton yang menewaskan 9 orang dan 5 lainnya luka-luka. IHSG sempat melemah akibat tragedi ini, namun menguat kembali 40,201 poin ke level 2.146,554. Walau tidak berakibat fatal bagi perekonomian bangsa untuk jangka panjang, namun setidaknya ada pelaku ekonomi yang dirugikan dalam tragedi ini, salah satunya club sepak bola papan atas Mancester United (MU) memutuskan tidak jadi datang ke Indonesia pada 18 Juli lalu.

Ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, baik itu para pelaku ekonomi, masyarakat sebagai konsumen, pemerintah dan terutama pihak yang bertanggunjawab atas stabilitas keamanan di negeri ini untuk selalu siaga dalam menjalankan tugas di segala lini. Jangan sampai ada celah untuk orang-orang yang ingin merusak bangsa ini dengan ledakan-ledakan yang lebih dahsyat lagi, karena ini sudah cukup membuat kita terperangah. Waspada itu mesti, karena hal ini menyangkut hak hidup orang banyak. Dan budaya “mencari payung setelah hujan reda” itu mesti kita campakkan jauh-jauh mulai hari ini.

13 Oktober 2009

MENGURANGI TRANSPARANSI MEDIA


Sejarah perjuangan Bangsa Indonesia jauh sebelum kemerdekaan 1945 dikumandangkan, sebenarnya telah menggoreskan banyak catatan penting yang mesti menjadi pegangan kita dalam menangani berbagai problem stabilitas keamanan di negeri ini, terutama masalah terorisme yang mulai merebak sejak runtuhnya WTC dan Ventagon pada 2001 lalu menyusul ledakan di Paddy’s Pub dan Sari Club Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang. Peristiwa ini sungguh membawa dampak buruk bagi citra Indonesia di mata dunia, termasuk travel warming yang dilakukan oleh banyak negara.

Menangani persoalan teroris bukanlah perkara yang gampang, sebab memburu teroris sama artinya dengan “mencari jarum dalam jerami”, walau bagaimanapun canggihnya peralatan yang kita digunakan, kemudian diturunkan berkompi-kompi pasukan Densus 88, kita akan tetap sulit untuk menemukan batang hidungnya jika transparansi media masih terus bebas memberitakan tentang pergerakan Densus 88 dan TNI dalam memburu Noordin M Top dan kawan-kawannya.
Beberapa hari lalu pasca penyergapan di Kedu misalnya, media kita berduyun-duyun memberitakan kematian Noordin M Top, namun toh Noordin M Top ternyata masih ayun-ayun kaki dan tertawa terbahak-bahak, menertawakan Indonesia dan media informasi kita yang terlalu over dalam pemberitaan.

Demikian pula dalam pemberitaan dan diskusi seputar pergerakan Densus 88 dan TNI, Seyogyanya peta pergerakan ini harus dirahasiakan, karena jika ini dipamerkan di hadapan publik, yang membaca informasi ini bukan hanya masyarakat Indonesia yang baik-baik, tapi teroris juga membaca media, mereka juga mengikuti pemberitaan di televisi. Artinya kita terjebak dalam skenario yang salah yang justru memudahkan mereka untuk mengambil langkah-langkah persembunyian.

Transparansi media dalam memburu teroris ini memang perlu dalam upaya sosialisasi kepada masyarakat luas, karena mereka adalah satu elemen penting yang tak boleh dipisahkan dari pencapaian keamanan di negeri ini. Namun, apa jadinya jika musuh tahu bagaimana pergerakan kita, strategi penyerangan yang kita gunakan, atau kita sedang memburu siapa, ini bisa melumpuhkan kerja keras aparat yang selama ini sudah diatur sedemikian rupa solidnya.

Semestinya kita harus kembali belajar pada pergerakan perjuangan Tentara dan Rakyat Indonesia zaman dulu pada operasi Gerilya yang diam. Pada waktu itu tak satupun media informasi yang memberitakan pergerakannya, skenario disusun rapih, toh pada 1945 kita bisa mencapai satu puncak kemerdekaan yang dinanti-nanti.

Oleh karena itu mengurangi informasi media terhadap pemberitaan pemburuan teroris adalah satu jalan yang mesti ditempuh jika Indonesia ingin cepat memperoleh hasil, karena dengan demikian kita telah membutakan mata teroris terhadap peta pergerakan Densus 88 dan TNI. Dan jika media memang ingin memberitakan tentang teroris beritakanlah seperlunya saja, jika itu dipandang tidak membahayakan bagi kepentingan perjuangan ini. (Almuttaqin/Qin Mahdy)

MELIHAT TINGKAH POLAH ELITE POLITIK LEWAT KARTUN


Judul : DARI PRESIDEN KE PRESIDEN
Penulis : Benny Rachmadi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : 1, 2009
Tebal : 333 halaman
Harga : Rp 80 000,-


Resensi
Oleh : Almuttaqin/qin mahdy
Koran Jakarta, 12 Agustus 2009

Wacana politik, seringkali dihidangkan ke hadapan masyarakat banyak berwujud dari suasana serius dan monoton, bahkan sangat lekat dengan aktifitas berfikir keras dalam IQ dan wacana tingkat tinggi. Sehingga di dalamnya sering muncul kata-kata ilmiah seperti oposisi, supremasi, perspektif, refleksi, dan masih banyak lagi kata-kata lainnya yang sangat ironis jika tak ditemukan di dalam kamus. Oleh sebab itu banyak masyarakat Indonesia terutama kaum remaja lebih memilih membaca cerita-cerita rekaan (fiksi) dan banyolan konyol ketimbang membaca buku-buku politik yang menurut mereka membosankan dan berbelit-belit.
Namun, ditengah gejolak politik yang sedang hangat-hangatnya pasca pemilu ini, kita tak perlu risau dengan wacana politik yang membosankan seperti yang digambarkan di atas. Sebab buku yang berjudul Dari Presiden ke Presiden karya Benny Rachmadi akan menawarkan sudut pandang baru untuk melihat serba-serbi gejala dan wacana politik di tanah air sejak masa tumbangya Soeharto 1998 hingga pemerintahan SBY 2009. Uniknya buku ini bukan berbentuk tulisan yang panjang, melainkan Benny telah mengubahnya menjadi gambar-gambar kartun yang khas dan lucu sesuai dengan karakter masing-masing tokoh politik.
Jika melihat dari kacamata sejarah, kartun politik seperti ini awalnya ditemukan di majalah Punch (sebuah media Inggris) pada tahun 1843. Ketika itu majalah Punch menerbitkan kartun berisi satir tentang pembangunan kembali gedung parlemen Inggris yang hangus terbakar. Kemudian kartun jenis ini mulai berkembang di Eropa, menyebar luas ke Asia dan Indonesia, sehingga hari ini pun kita bisa menikmatinya di banyak media massa di tanah air.
Perkembangan publikasi kartun di media massa dewasa ini cukup melejit, karena Indonesia adalah negeri yang full affair sarat peristiwa, terutama ketika dihadapkan pada tingkah polah elit politik, ini adalah satu perikehidupan di Indonesia yang sangat ironi. Seperti Habibie dengan kabinetnya yang tidak kompak, oleh Benny digambarkan Habibie sedang memimpin sebuah orchestra. Demikian pula ketika ia ragu untuk mengusut tap MPR RI No. XI Tahun 1998, ia digambarkan sosok yang lugu dengan jejak-jejak kaki yang berbelit-belit. Kemudian gambaran kabinet pelangi versi gusdur, gusdur utak atik pejabat, bongkar pasang kabinet, isu bumbu masakan berbahan tidak halal, Mega Wati dan flu burung, bom Bali, hingga gambaran presiden SBY menjadi tokoh populer pun digambarkan sedimikian unik oleh Benny dengan karakter yang utuh dan cukup mengena.
Buku ini adalah kumpulan kartun Benny yang merekam jejak wacana dan pelaku politik yang pernah dimuat pada Tabloid Kontan di mingguan dan harian sejak tahun 1998 hingga 2009. Seperti halnya teks, kartun adalah roh surat kabar (hlm. VIII) yang memiliki arti yang sangat dalam, ia seolah berbicara, bercerita, dan lebih-lebih ia akan membawa identitas bagi surat kabar yang memunculkannya.
Pemilik nama lengkap Benny Rachmadi ini adalah satu dari dua kartunis seri ”Lagak Jakarta” yang dikenal sebagai seniman yang jeli menyihir pahit-getir kehidupan bangsa Indonesia ke dalam kartun yang kocak. Bersama Mice ia melaporkan semua itu dengan bahasa gambar yang cerdas. Kadang, kendatipun sudah silam satu dekade, namun laporan Benny dan Mice masih tetap aktual, kocak dan bisa menjadi obat mujarab bagi siapa saja yang haus akan hiburan. Demikian pula dengan buku ini, sambil menyelam kita bisa menjejaki sari-sari sejarah perjalan politik bangsa yang penuh warna.

MELIHAT SISI LAIN B.J. HABIBIE


Judul : TESTIMONI UNTUK B.J. HABIBI
Penulis : Soeharto, dkk
Penerbit : Ombak
Cetakan : 1, 2009
Tebal : 476 hlm
Harga : Rp. 80.000,-





Resensi
Oleh : Almuttaqin/Qin Mahdy
Koran Jakarta, 6 Agustus 2009

Habibie, demikian nama ini terpatri pada Bangsa Indonesia sebagai teknologiawan jenius yang telah memutuskan mata rantai kemustahilan Indonesia untuk bisa membuat industri pesawat terbang sendiri, sebuah teknologi tingkat tinggi. Apa yang dilakukan Habibie dan timnya telah mengharumkan nama bangsa dan mampu menciptakan prestige yang sangat baik bagi bangsa ini di mata dunia. Tak bisa dipungkiri bahwa di dalam negeri tokoh jenius berdarah Pare Pare ini pun akhirnya menjadi Idol bagi semua kalangan, dicintai para anak-anak, dikagumi oleh remaja, bahkan menjadi idam-idaman banyak orang tua supaya anak-anak mereka nanti bisa menjadi Habibi-Habibi yang lain.
Sosoknya kian melekat di hati rakyat Indonesia tatkala dirinya diangkat menjadi Presiden RI menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri pada tahun 1998. Ia memimpin Indonesia dalam salah satu dekade politik yang paling carut-marut dalam sejarah negeri ini, yaitu pada masa tumbangnya kerajaan Orde Baru. Banyak kebijakan yang ia torehkan, namun tak selamanya mengundang pujian, bahkan celaan dan gunjingan lebih sering menghantui di balik kursi kepresidenannya yang berumur demikian muda.
Salah satu prestasi terbesar Habibie dalam percaturan politik tanah air adalah ia berhasil membuka kunci demokratisasi Indonesia menuju iklim yang terbuka, yang hasilnya bisa kita rasakan hingga hari ini. Walau masih banyak beredar isu tentang Habibie sebagai fotocopi Soeharto, namun pada hakikatnya ia bukanlah titah Soeharto. Sama halnya dengan wacana Soeharto yang dianggap fotocopi Soekarno. Toh Habibie memimpin Indonesia sangat berbeda dengan cara yang digunakan oleh Soeharto, walau memang sebagian kebijakan harus dilanjutkan menimbang tingkat urgensinya bagi kepentingan dan kestabilan negara pada waktu itu.
Ketika kita dihadapkan pada sosok Habibie, adalah sebuah keniscayaan yang sempit jika kita beranggapan bahwa dia hanyalah sekedar teknokrat dan mantan Presiden, karena sebagai manusia “jenius” tentu ia mempunyai sisi-sisi menarik dan khas tentang manis getir kehidupannya yang selama ini tidak pernah dibuka di muka publik. Mulai dari kehidupan perjuangan, tentang keteguhan hati, hingga pergulatan spiritual yang membuatnya selalu nyaman dan rileks menjalani hari-hari hidup dengan senyum di tengah hiruk-pikuk massa dan masyarakat yang selalu berkerut.
Sementara dari sudut pandang agama, Habibie dikenal dengan tokoh Islam yang sangat moderat dalam urusan agama. Mengayomi semua agama untuk saling toleran dan bantu-membantu dalam menciptakan kestabilan tanah air. Demikian pula kebesarannya tak kalah dengan Soeharto, buah tekad generasi korban perang ini namanya melambung ke banyak negara, hingga berhasil mengukir sejarah besar di Aachen-Jerman sebagai mahasiswa terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia.
Buku ini merupakan kumpulan beragam kisah yang dihimpun oleh penulis dari 100 lebih sumber, seperti Almarhum Presiden Soeharto, Jend TNI Soemitro, Gunawan Muhammad, dan banyak lagi tokoh publik lainnya. Ada kisah yang mengundang kekaguman, mengharukan, mengkritik, bahkan kisah jenaka dari kehidupan Rudy (panggilan waktu kecil) sang genius Indonesia ini akan mampu membuat hati kita seperti digoyang-goyang. Semua cerita hidupnya juga disampaikan lewat penuturan orang-orang terdekat dan orang-orang yang pernah bertemu dengannya, ini merupakan mutiara yang sangat berharga untuk memahami Habibie. Dan jika kita ingin bercengkrama untuk menyelami Habibie lebih personal, lihatlah ia dari kacamata para sejawat dan keluarganya yang disajikan dalam buku yang cukup renyah ini.

28 Juli 2009

DEMOKRASI UNTUK RAKYAT


Judul Buku : TAKDIR DEMOKRASI
Penulis : Anas Urbaningrum
Penerbit : Teraju - Jakarta
Cetakan : 1, Juli 2009
Tebal : 278 halaman
Harga : Rp 49.500,-

Resensi
Oleh : Almuttaqin/Qin Mahdy
Koran Jakarta, 24 Juli 2009
Takdir, seringkali muncul ke permukaan sebagai wujud dari suasana kekalahan, penderitaan dan bahkan sangat lekat dengan keputusasaan. Banyak contoh wacana takdir seperti ini bisa kita temukan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Dimana takdir telah mengambil alih kisah perjuangan hidup mereka menjadi orang-orang yang kalah, seperti banyaknya fenomena kemiskinan, pengangguran dan bahkan kata “takdir” acap kali terlontar dari mulut-mulut mereka sendiri yang mengalami keputusasaan tersebut.
Namun, dalam buku yang berjudul Takdir Demokrasi karya seorang politisi handal Anas Urbaningrum ini, takdir digambarkan dalam sosok yang sangat berbeda, tidak pesimis, dan justru menentramkan. Merupakan gambaran dari kemenangan hidup masyarakat berbangsa dan bernegara di Indonesia, yakni kemenangan sesungguhnya yang diperoleh oleh rakyat yang tidak bisa digantikan dengan nilai mata uang manapun di dunia ini. Itulah kemudian yang ia sebut sebagai takdir demokrasi.
Bolehlah kita berterima kasih kepada Reformasi yang telah bersusah-payah membuka pintu dan mengantarkan Indonesia pada takdir demokrasi saat ini, sehingga tak ada lagi ruang-ruang semu yang bisa ditutup-tutupi. Begitu pula tata kelola hidup dan kehidupan bangsa telah menjadi demikian terang dan terbuka. Kebebasan rakyat untuk bersuara pun telah menjadi penentu masa depan bangsa hari ini dan ke depan, karena hijab itu sudah dibuka lebar-lebar melalui Pemilihan Umum langsung. Dan Pemilu pada 9 April dan 8 Juli 2009 lalu telah mengokohkan Indonesia kepada takdir demokrasi yang sesungguhnya, yaitu demokrasi kemenangan untuk rakyat.
Walau masih banyak simpang siur persoalan teknis pemilihan yang belum terselaikan, namun takdir demokrasi ini seyogyanya terus kita perjuangkan, karena pesta demokrasi bukanlah tontonan pertadingan final sepak bola. Demikian juga mengelola negara, bukanlah pekerjaan menata panggung untuk sebuah pesta. Pemilu adalah langkah awal dari sebuah perjalanan panjang menjemput takdir sebuah bangsa. Tidak hanya takdir kesejahteraan lahir yang kita jemput, namun lebih penting dari itu adalah kesejahteraan utuh meliputi elemen-elemen penting yang menopang kehidupan ini.
Semua sub-sub wacana takdir demokrasi itu akan dibentangkan selebar mungkin dalam lembar-lembar buku ini, mulai dari perkara dan wacana politik yang serius seperti penyelenggaraan Pemilu, BLBI, kisruh BLT, Golput, hingga cerita yang menggelitik tentang mengurus tidurnya pejabat pun akan dipaparkan oleh penulis dengan tegas, terang, mendalam, dan tajam menusuk tanpa mengklaim atau sok monopoli.
Buku ini tak lebih adalah setitik refleksi yang muncul dari sudut-sudut perjalanan politik demokratisasi kita yang semakin dinamis. Melebur ke dalam keprihatinan ganjalan dan distorsi yang sering menyertainya. Ia hadir tak berakhir hanya sebagai takdir, tetapi lebih jauh melihat perjuangan yang telah ditorehkan oleh pemerintahan 5 tahun ini dalam mencapai demokrasi yang utuh. Dengan gaya tulisan yang khas, tenang, santun dan bijak, tak bisa dipungkiri buku ini merupakan pembelaan atau pembersihan atas isu-isu negatif yang selama ini muncul dipermukaan terhadap kinerja dan kebijakan-kebijakan pemerintahan SBY-JK yang dianggap keliru.

21 Juli 2009

DRAMA PANJANG NEGERI SERUMPUN


Judul Buku : GANYANG MALAYSIA!Penulis : Efantino F & Arifin SN
Penerbit : Bio Pustaka
Cetakan : 1, 2009
Tebal : 200 halaman
Harga : Rp 30.000,-



Resensi

Oleh : Almuttaqin/qin mahdy

Koran Jakarta, 21 Juli 2009

“Kalau Malaysia mau konfrontasi ekonomi, kita hadapi dengan konfrontasi ekonomi, Kalau Malaysia mau konfrontasi politik, Kita hadapi dengan konfrontasi politik, Kalau Malaysia mau konfrontasi militer, Kita hadapi dengan konfrontasi militer!!”

 Kutipan isi pidato presiden Soekarno yang begitu bersemangat inilah yang akan menyambut kita ketika hendak membuka lembar demi lembar halaman buku yang berjudul Ganyang Malaysia! yang ditulis oleh Efantino F dan Arifin SN ini. Sebuah buku refleksi yang cukup menggugah, sekaligus miris, menguraikan banyak dinamika hubungan antara Indonesia dan Malaysia sejak masa konfrontasi era 1960-an hingga konflik Ambalat yang belakangan ini kembali memanas.
 Jika kembali menengok sejarah masa lalu, kedua negara ini telah disatukan dalam bingkai kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Layaknya saudara kandung, mereka saling tegur sapa dalam satu bahasa yakni bahasa Melayu. Mereka saling suap-suapan dengan makanan pokok dari kebun yang sama, demikian juga sering bertukar pikiran dalam hal memajukan pendidikan bersama. Warna kulit dan postur tubuh pun mengindikasikan bahwa kedua negara ini benar-benar berasal dari satu induk yakni Melayu.
Bahkan suatu ketika pernah tercetus oleh kedua pemimpin negeri ini untuk menyatukan Indonesia dan Malaysia, namun kedatangan Eropa membuat situasi ini menjadi berbalik, Indonesia memisahkan diri karena dijajah oleh Belanda, sedangkan Malaysia menyembunyikan diri pula akibat dijajah oleh Inggris. Ini adalah titik awal yang menandakan perpecahan antara kedua negara tersebut.
 Namun, konflik yang sesungguhnya terjadi pada tanggal 16 september 1963, ketika Tengku Abdurrahman mengumumkan pembentukan Federasi Malaysia, yaitu meliputi tanah Melayu, Singapura, Sabah dan Sarawak. Oleh Soekarno keputusan itu ditolak karena dianggap merupakan proyek neokolib dari Inggris. Hingga pada waktu itu ia memutuskan diplomasi dengan Malaysia.
Keputusan presiden Soekarno itu ternyata berbuah aksi demontrasi besar-besaran yang menyerbu KBRI di Kuala Lumpur. Mereka menghina, mencaci-maki dan merobek-robek foto presiden Soekarno, termasuk Tengku Abdurrahman pada waktu itu menginjak-injak lambang kesatuan negara Indonesia.
Tak sudi dengan penghinaan tersebut akhirnya Bung Karno meneriakkan "Ganyang Malaysia!" dihadapan ribuan masyarakat yang hadir pada waktu itu sebagai bukti perlawan keras terhadap Malaysia. Ganyang Malaysia itu dilakukan bukan tanpa dasar, alasan yang paling utama adalah untuk mempertahankan harkat, martabat dan harga diri bangsa dan negara Indonesia yang telah dilecehkan. Itu adalah keputusan tepat.
Dan akhir-akhir ini konfrontasi serupa kembali memanas. Bahkan menyebar ke wilayah-wilayah lain seperti penganiayaan terhadap banyak pekerja Indonesia di Malaysia, pencurian aset budaya, dan yang paling menyesakkan dada ialah lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari genggaman tanah air Indonesia beberap tahun lalu tanpa meninggalkan jejak-jejak perlawan yang keras seperti yang dilakukan oleh presiden Soekarno pada 46 tahun silam.
Demikianlah, buku ini layak untuk dijadikan bahan renungan untuk kita semua, terutama bagi pemimpin Indonesia yang baru terpilih. Kita harus berani menunjukkan sikap kepada Malaysia terhadap semua konfrontasi yang mereka lakukan dalam segala lini, terutama terhadap provokasi yang sering dilakukan oleh TLDM terhadap Blok Ambalat. Karena Indonesia bukanlah boneka dalam sebuah game, yang tidak bisa berbuat banyak untuk keutuhan negerinya. Indonesia adalah negeri yang besar sekaligus kuat. Dan bila perlu Ganyang Malaysia kedua wajib untuk dikumandangkan.


19 Juli 2009

APA YANG TERJADI BILA MANUSIA TIDAK ADA LAGI?


Judul Buku : DUNIA TANPA MANUSIA

Penulis : Alan Weisman

Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : 1, Juni 2009

Tebal : 430 halaman

Harga : Rp 70.000,-




Resensi

Oleh : Almuttaqin/Qin Mahdy


Kemampuan bereksperimen untuk membaca masa depan merupakan salah satu ciri khas manusia. Karena secara neurologis lobus frontalis manusia memang didesain untuk mampu menopang aktifitas kognitif tingkat tinggi. Dan ini sudah menjadi kebutuhan manusia itu sendiri dalam mencapai suatu titik terang atas pertanyaan dan pernyataan yang sering muncul dari problematika dunia yang dinamis dan semakin kompleks.

Seperti halnya prediksi Alan Weisman dalam bukunya yang berjudul Dunia Tanpa Manusia, ini adalah salah satu ekperiman pemikiran luar biasa di zaman ini, yang kalau tidak berlebihan bisa disejajarkan dengan gagasan Leonardo De Caprio pada puluhan abad lalu tentang ekperimen kendaraan masa depan manusia yang hari ini benar-benar telah kita buktikan kebenarannya. Eksperimen Weisman ini adalah sebuah terobosan besar yang menakjubkan tentang apa yang akan terjadi pada bumi bila manusia tidak ada lagi?

Melalui buku ini Alan Weisman ingin mengajak kita sebagai makhluk yang berfikir untuk merenung sejenak dari segala aktifitas yang membuat dunia kita menjadi demikian gerah, lalu membayangkan apa yang ada di sekitar kita saat ini. Di dunia kekinian. Mulai dari benda seperti bangunan rumah yang kita huni, kendaraan bermotor yang kita miliki, jalan-jalan yang membentang, hingga gedung-gedung tinggi yang menjulang. Lalu bayangkan semua manusia penghuni bumi ini lenyap dalam sekejap tak tersisa, dan apa yang akan tejadi? Sebuah pertanyaan yang cukup mencengangkan yang mampu membawa alam pikiran kita kepada sesuatu yang absurd namun dalam intensitas yang tidak berlebihan di dunia nyata.

Setelah kita musnahkan semua manusia, pertanyaan selanjutnya muncul adalah berapa lama kira-kira iklim akan kembali pada keadaan semula sebelum kita menghidupkan motor-motor kita? Berapa lama waktu yang diperlukan alam untuk kembali ke keadaan semula, mengembalikan taman Firdaus ke pesona dan aroma seperti sebelum kemunculan Adam atau Homo Habilis? Mungkinkah ia menghapus jejak kita, merobohkan jalan-jalan dan bangunan megah, dan mengurai begitu banyak plastik serta bahan sintetik beracun kepada dasar semula? Atau ia tidak dapat memusnahkannya?

Lalu bagaimana dengan ciptaan terbaik kita, bertahankah? Akankah ia meninggalkan jejak? Dan mungkinkah ketiadaan sumbangsih manusia kualitas planet ini menjadi berkurang, atau justru sebaliknya manusia yang telah membinasakan dirinya sendiri menuju gerbang kehancuran pusat kehidupan semesta ini?

Ini adalah sebuah tur yang sangat memikat tentunya, yang akan mampu mengisi ruang-ruang pengetahuan kita yang selama ini demikian dangkal terhadap persoalan masa depan alam yang sudah hampir memasuki dekade akhir ini. Ini adalah pendekatan yang sangat baru terhadap pertanyaan bagaimana pengaruh hubungan manusia dan planet bumi terhadap kehidupan semesta.

Narasi Weisman ini akhirnya akan mengarahkan pada penyelesaian yang cukup radikal, tapi sangat persuasif yang tidak bergantung atas lenyapnya umat manusia. Ini adalah contoh narasi nonfiksi pada tingkatan tertinggi, dan dengan menunjukkan konsep yang sangat menggoda dengan sentuhan yang menggairahkan. Ia juga dengan cermat melihat akibat yang ditimbulkan manusia terhadap planet ini dalam cara yang sangat baru.

Walau bagaimanapun melalui buku ini Alan Weisman ingin menyampaikan pesan yang sangat serius, terutama masalah pengundulan hutan, perubahan iklim dan polusi udara yang menjadi musuh besar dunia saat ini. Karena kita dan semua agama-agama mengakui bahwa zaman akhir itu memang ada, dan mungkin sudah dekat sekali, sedangkan manusia hanya mampu untuk mempercepat atau memperlambat prosesnya. Seperti kata Abdulhamid Cakmut, kita dapat memperlambat proses itu - yang baik adalah mereka yang berusaha keras memulihkan harmoni dan mempercepat regenerasi alam. (hlm 385)

MENGIKIS ANCAMAN GLOBAL WARMING


Judul Buku : Easy Green Living

Penulis : Valerina Daniel

Penerbit : Hikmah - Jakarta

Tahun : 1, April 2009

Tebal : 239

Harga : Rp 49.500,-




Resensi

Oleh : Almuttaqin/Qin Mahdy


Pemanasan global atau yang lebih dikenal global warming adalah menjadi salah satu isu utama yang tak habis-habisnya diperbincangkan masyarakat dunia belakangan ini, termasuk kita di Indonesia. Betapa tidak, momok yang paling menakutkan ini sangat berkaitan erat hubungannya dengan kemaslahatan dan keselamatan keberlangsungan hidup manusia sebagai penghuni bumi yang sudah turun temurun sejak jutaan tahun lalu. Singkatnya bumi manusia saat ini berada dalam ancaman. Seluruh negara di dunia akhirnya ambil pusing untuk ikut duduk bersama, berembuk dalam rangka mencari solusi, terlebih mengatasi fenomena perubahan iklim yang semakin tidak stabil hingga hari ini.

Tingginya panas bumi menyebabkan gunung es kutub berangsur-angsur mulai mencair. Akibatnya permukaan air laut naik dan menenggelamkan banyak pulau-pulau kecil. Badai, banjir, gelombang panas, kekeringan, hingga punahnya beberapa jenis puspa dan satwa juga menjadi bencana yang mau tak mau harus kita terima. Di Indonesia tanda-tanda itu sudah mulai tampak jelas. Seperti pergeseran musim hujan, ombak laut yang tinggi, meluasnya kekeringan di beberapa daerah, sementara sebaliknya banjir menggenang di daerah lain. Ini semua adalah bagian dari ancaman global warming yang sebenarnya patut kita waspadai. Lalu apa yang mesti kita lakukan untuk mengatasi masalah ini?

Pemerintah Australia jauh-jauh hari sudah mencanangkan beberapa misi penyelamatan bumi yaitu dengan mewajibkan ruang terbuka hijau selebar 10 hektar disetiap distrik dan 1,5 hektar di setiap blok atau apartemen. Pemerintah Australia juga menerapkan peraturan tegas mengenai penanggulangan sampah. Karena sampah termasuk komoditas yang cukup besar penyumbang gas rumah kaca.

Sementara Alnord - gubernur bagian Kalifornia – akan memberlakukan UU Sejuta Atap Matahari. Dengan pemberlakuan UU ini konon, 3 ribu Megawatt tambahan energi bersih akan tersedia dan efek rumah kaca menjadi berkurang 3 juta ton, hal ini sama dengan menghapus 1 juta ton mobil dari jalanan. Program hemat energi dan pelestarian lingkungan di kota ini merupakan program yang paling agresif diantara banyak negara di dunia. Kemudian, sebagai manusia Indonesia kita bisa melakukan apa untuk menyelamatkan bumi?

Valerina Daniel dalam bukunya yang berjudul Easy Green Living ini tidak mau ketinggalan, ia menawarkan kepada kita semua berbagai kiat-kiat yang bisa kita lakukan sebagai wujud tindakan penyelamatan bumi. Dengan kemasan ala Valerina buku ini mengajak semua golongan, baik itu orang tua, remaja, maupun anak-anak untuk melakukan tindakan-tindakan preventif yang sejatinya sangat sederhana. Seperti contoh memilih sampah rumah tangga, memilih kendaraan yang ramah lingkungan, membawa tas belanja sendiri, membawa bekal ke tempat kerja, memilih tempat berlibur yang murah dan menyenangkan, dan masih banyak tips-tips lainnya yang patut kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyongsong kehidupan dunia yang lebih baik. Walau terlihat Easy namun berawal dari tindakan-tindakan kecil ini lah semua hal-besar dapat diciptakan.

Tidak hanya tips-tips, di dalam buku ini kita juga akan menemukan berbagai kisah inspiratif Valerina dalam kiprahnya selama menjadi Duta Lingkungan dan reporter, mulai dari kisah naik perahu yang baling-balingnya tersangkut sampah di Muara Angke, hingga persoalan salah kaprah pandangan anak-anak sekolah tentang efek rumah kaca yang akan mampu membuat pembaca tergelitik.

Buah karya seorang Duta Lingkungan sekaligus mantan reporter salah satu stasiun televisi Indonesia ini layak dimiliki oleh setiap keluarga atau pribadi yang mengaku sebagai warga negara Indonesia. Karena topik serius ini oleh Valerina disampaikan dalam bentuk yang demikian populer, sederhana, bercerita, mendidik dan sekaligus mudah dipahami dengan tips-tipsnya yang aplikatif. Dengan menjalankan tips-tips tersebut berarti kita telah melakukan satu kebaikan untuk semesta, terutama manusia dunia, dan lebih-lebih untuk kehidupan generasi penerus kita nantinya. Karena misi penyelamatan lingkungan adalah misi kita bersama, bukan misi golongan atau sekelompok elit yang memiliki kepentingan. Bumi memang sedang dalam bahaya, namun tangan-tangan kecil manusia lah akan mampu menepis semua bahaya-bahaya itu.

17 Juli 2009

JANGAN SALAHKAN SEMUANYA PADA TERORIS

Untuk sahabatku Marriott dan Ritz-Carlton

Oleh : Qin Mahdy


2003 Marriott, 2009 hotel Marriott lagi bersama seorang saudara sepupu dekatnya hotel Ritz-Carlton di kuningan kena sasaran bom berkekuatan tinggi yang cukup menewaskan 9 orang dan sedikitnya 55 lainnya luka-luka. Sebagai anak manusia saya turut berduka atas terjadinya tragedi berulang ini. Saya mengutuk, sekaligus mengecam semua tindakan yang tidak manusiawi.

Namun, di sisi lain saya melihat bom itu perlu koq ada di Indonesia. Ibarat sebuah tamparan, yang mampu membangunkanku kala sedang asyik melamun ria, atau ibarat seguyur air kala aku sedang tertidur lelap hingga lupa shalat subuh, itulah filosofi bom menurut hemat saya.

Ledakan semacam itu mesti ada sebagai peringatan ketika Indonesia sedang asyik erlena oleh pesta demokrasi yang baru beberapa hari ini selesai dilaksanakan yang berbuah carut-marut di sana-sini. Akhirnya semua mata tertuju pada Pemilu. Pemulung ribut pemilu, tukang bakso ngoceh pemilu, dosen juga berbicara pemilu, televisi terus updet Pemilu, demikian juga aparat keamanan menjaga ketat pesta demokrasi besar ini, namun penjagaan di lini lain bolong dan lemah, toh teroris sampai masuk hotel bintang 5, coba, apa itu gila...

Daaaar!!!

Duuuaaaar!!!

Itulah gamparan yang pas untuk membangunkan aparat-aparat yang sedang terlena, yang tidak konsisiten menangani keamanan menyeluruh di negeri ini. Dan saya yakin setelah peristiwa ini mata mata mereka bakalan melek sebesar biji gajah hingga malam telah berkabut gulita,, kemudian mereka bergumam,

"Ternyata masi ada teroris ya di Jakarta!"

Rasa aman itu memang perlu, namun keamaan yang sesungguhnya tidak akan pernah kita capai, apalagi di negeri yang selebar Indonesia ini. Lagipula definisi keamanan kita berbeda dengan yang dipahami oleh makhluk bernama teroris. Karena itu waspada itu menjadi perlu, jangan sampai lagi kita, khususnya aparat penegak keamanan baru mencari payung setelah hujan sudah reda.

03 Juli 2009

HILLARY BUKAN PEREMPUAN BIASA


Judul Buku : HILLARY

Penulis : A. Bahar

Penerbit : Penebar Swadaya-Jakarta

Cetakan : 1, 2009

Tebal : 188 halaman

Harga : 48.000


Resensi
Oleh : Almuttaqin/Qin Mahdy

Koran Jakarta, 02 Juli 2009


Dewasa ini sangat sedikit sekali kita temukan sosok perempuan yang luar biasa, yang tidak hanya berpengaruh dalam kehidupan masyarakat dimana ia tinggal, tetapi lebih jauh merunut pada tataran kehidupan universal dan dunia perpolitikan bangsa-bangsa. Apalagi di Indonesia, karena sejatinya perempuan-perempuan kita lebih banyak yang memilih mengkultuskan dirinya sebagai orang nomor dua setelah laki-laki, sehingga dalam hal apapun mereka seolah-olah tak ingin menjadi yang terdepan sebagai penentu kebijakan-kebijakan yang selayaknya dihormati. Mereka lebih memilih menjadi domba-domba daripada menjadi sang gembala yang memiliki domba.

Namun, diantara yang sedikit itulah nama Hillary pantas masuk ke dalam daftar perempuan yang berpengaruh di dunia saat ini. Ia telah mendobrak segala kegelisahan panjang perempuan-perempuan dunia atas kultus dirinya sebagai orang nomor dua tersebut, sehingga ia dalam sejarah Amerika Serikat bukan hanya sebagai istri Presiden, tetapi disamakan dengan tokoh perempuan lain yang cukup legendaris, seperti Elenor Roosevelt (istri Presiden Roosevelt) dan Naomi yang vokal dalam menyuarakan tentang isu-isu kesenjangan dunia.

Hillary yang dikenal dengan performa apa adanya lahir dari keluarga sederhana. Namun, nasib telah mengantarkannya menjadi Ibu gubernur Arkansas sejak tahun 1979 hingga 1992. Kemudian cukup lama ia menjadi Ibu Negara pada periode pemerintaha Bill Clinton, 1992-2000. Namanya terus melambung tak terhenti sampai di situ, pada tahun 2000 ia terpilih menjadi Senator AS asal New York yang dikenal hangat oleh rakyat Amerika hingga berakhir masa jabatannya pada 2008.

Namun, di balik karir yang gemilang tersebut tentu ada kerikil tajam yang selalu mengganggu dan berusaha menunda perjalannya. Demikianlah muncul Monica Lewinsky menjadi batu sandungan yang sangat besar bagi Hillary. Bagaimana ia harus menjelaskan perasaan seorang wanita yang menyandang posisi sebagai ibu negara di hadapan publik atas peritiwa skandal yang dialami suaminya. Hanya wanita yang sangat tegar seperti Hillary saja yang mampu menyelesaikan dan melewati masalah seperti ini.

Batu sandungan bukan hanya itu, karena ketika titik terang dunia perpolitikannya mulai tersibak untuk menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat, Barack Obama adalah penghalang terbesar yang telah berhasil menyingkirkannya dari kursi pencalonan Presiden dalam pemilihan capres Partai Demokrat tahun 2008 lalu.

Inilah buku sederhana yang bercerita cukup mengalir, mengupas banyak hal tentang hiruk-pikuk kehidupan Hillary Clinton yang dikenal bijaksana dalam kepahitan cinta, berjiwa besar dalam menerima kekalahan dan inovatif dalam berdiplomasi. Buku ini tidak hanya bercerita tentang karir politik Hillary, tapi mencabang pada persoalan sikap, etika dan bagaimana berpolitik yang baik, kemudian jender, persoalan keluarga, cara mendidik anak yang baik, hingga kisah cinta dan lamaran Clinton yang ditolak berkali-kali oleh Hillary saat masih remaja yang akan mampu menyihir pembaca menjadi tertawa.

29 Juni 2009

FENOMENA 'SI KONYOL'




















KETIKA FIKSI HARUS MENGHIBUR PEMBACA REMAJA

Oleh: Almuttaqin/Qin Mahdy


Pendahuluan

”Kata-kata tak hanya mempengaruhi kita secara kadang-kadang; kata-kata mengubah kita, kata-kata memasyarakatkan kita dan sebaliknya.” (Koran Tempo, 17 Mei 2009) Demikianlah pernyataan singkat David Riesman salah seorang sosiolog ternama asal Amerika. Dalam sepenggal kalimat ini David Riesman mengungkapkan bahwa, betapa kekuatan kata tak bisa dianggap remeh, karena kata bisa menjadi sihir yang mampu mengubah semua keadaan, sehingga pandangan kita tentang kekerdilan bisa diubah dan dibelokkan menjadi makna yang lain oleh kata.

Kata-kata itu tak hanya apa yang lantas kita ucapkan sehari-hari, namun lebih dari itu kata adalah tulisan-tulisan, angka-angka, atau simbol-simbol yang telah memberikan makna atas satuan pernyataan utuh, sehingga pesan-pesan bisa ditangkap oleh pembaca yang gemar membalik lembar buku-buku. Apalagi dalam tulisan-tulisan fiksi yang lebih menyentuh dengan emosi, akan sangat menyihir. Seperti halnya sepotong surat Sulaiman yang mampu menundukkan Ratu Bilqis pada ratusan abad silam, atau mantra keris Si Ginjai yang berhasil membuat tunggang-langgang lawan yang ingin menguasai tanah Jambi, sehingga mereka mengakui keberadaan dan kekuatan kata tak berakhir hanya sebagai makna yang bias, tapi lebih jauh pada makna yang luas.

Kata-kata itu tidak dangkal. Adakalanya ia berupa seteguk air di padang gersang bagi musafir-musafir dahaga, sehingga ia menjadi penyejuk di bawah terik panas matahari yang membakar. Demikian halnya fenomena ‘fiksi konyol’ remaja Indonesia saat ini yang memuat kata-kata lucu di dalamnya. Sehingga banyak pembaca, khususnya remaja dibawa untuk terpingkal-pingkal membuka tawa atau hanya sekedar tersenyum simpul. Perlu kita ketahui bahwa ‘fiksi konyol’ tersebut hadir bukan sekedar sebagai pengisi titik-titik jenuh pernovelan tanah air, namun tentu ada misi terselubung yang menyebabkan mereka berduyun-duyun muncul ke permukaan bak jamur di musim penghujan.


Munculnya Fenomena ’Si Konyol’

Lahirnya sebuah karya sastra merupakan manifestasi dari penelaahan bagi para pengarang terhadap realitas kehidupan yang mereka alami, baik dalam lingkup lingkungan di sekitar mereka tinggal, maupun imaji-imaji yang pada hakikatnya juga lahir dari fenomena-fenomena kehidupan itu sendiri. Banyak para ahli sastra mengakui ini, karena dalam fiksi tidak ada kebenaran mutlak dan tidak ada pula imajinasi yang bersifat original. Sehingga keduanya saling kait-mengait dan saling melengkapi dalam setiap kondisi apapun, karena itulah sejatinya fiksi.

Ada satu hal yang cukup menarik perhatian penulis pada fiksi remaja dewasa ini, yaitu munculnya fenomena ‘Si Konyol’, yaitu fiksi yang bertemakan tentang kehidupan remaja yang kocak, ada yang berbentuk cerita dan ada pula berupa catatan harian yang mampu mengundang tawa bagi para pembacanya.

Ketika bermain ke toko-toko buku ternama, tentu di sana kita akan menemukan seorang pemuda sedang duduk di dalam sebuah botol aqua galon. Atau mungkin akan melihat wajah seseorang yang berkacamata dengan hidung dan telinganya menyerupai seekor babi, sementara lelaki di sebelahnya yang hanya memakai celana kolor dan singlet sedang berteriak sambil mengangkat kompor minyak tanah di atas kepalanya. Ini bukan sirkus manusia aneh, tapi merupakan gambar-gambar sampul buku yang sedang memenuhi rak-rak utama di berbagai toko buku. Buku yang biasanya bertuliskan “gokil” dan “dodol” pada judulnya ini memang sedang menjadi tren fiksi remaja saat ini.

Tak bisa dipungkiri, fenomena buku kisah-kisah keseharian kocak yang dialami penulisnya ini bermula dari kedatangan seorang pemuda berkacamata bernama Raditya Dika dengan “Kambing Jantan” yang merupakan hasil adopsi dari blog pribadinya pada 2005 silam. Tak ayal ‘Kambing Jantan’ mampu menciptakan tren baru setelah pernovelan di tanah air masih didominasi oleh novel-novel datar dan bacaan-bacaan serius. Memang ada sebelumya bacaan kocak seperti Lupus, namun ini memiliki warna yang cukup berbeda dan sangat apresiatif. Setelah itu mulai muncul karya-karya epigon seperti Pocong, Jakarta Underkompor, Sebuah Memoar Garing, Ocehan Si Mbot: Gilanya Orang Kantoran, dan banyak lagi catatan-catatan anak dodol lainnya.

Latar belakang penulisannyapun saat ini sudah sangat beragam, mulai dari kehidupan sekolah, kantor, hingga dokter gigi menjadi tema yang mampu digarap oleh mereka yang telah menyentuh seluk-beluk berbagai profesi. Sehingga cerita tidak hanya berputar pada lingkup sekolah dan pergaulan, tapi sudah bervariasi dan semakin liar.

Setelah mengetahui fenomena merebaknya fiksi Konyol ini, tentu ada satu pertanyaan yang paling mendasar yang perlu kita kritisi, yaitu apa penyebab munculnya hegemoni tema konyol ini? Berlatarbelakang realitaskah? Atau hanya sekedar tren yang sengaja diusung oleh kaum kapitalis pasar?


Fiksi Konyol untuk Menghibur Pembaca

Cerita remaja konyol bisa dikategorikan sebagai fiksi remaja populer, atau sering disebut ”teenlit” sebagai buah cerita dari dan untuk anak-anak muda yang sedang mencari identitas diri. Di sana cerita tidak menggurui, hanya bersifat menghibur dalam sensasi kehidupan remaja masa kini yang praktis dan dinamis. Satu hal yang membedakan antara fiksi populer dan fiksi serius, yaitu mengenai nilai. Ketika fiksi populer menyajikan pengalaman kemanusiaan, maka fiksi serius juga bermaksud menyajikan pengalaman kemanusiaan melalui fakta-fakta, tema-tema, dan sarana-sarana cerita. Namun fiksi serius berada dalam tingkatan yang berbeda, yakni lebih jauh terhadap nilai-nilai universal yang mampu menembus batas jarak kelaliman zaman dan waktu.

Di sini penulis tidak bermaksud menafikan keberadaan fiksi yang bercerita tentang kekonyolan ini, justru ingin menggeliat ke arah yang lebih lapang, karena pada hakikatnya keberadaan fiksi bergenre tersebut saat ini menjadi penting ketika dekade 2004-2009 adalah masa-masa sulit bagi masyarakat negeri yang telah ditimpa berbagai macam bencana dan kesulitan-kesulitan.

Tentu masih terngiang di benak kita betapa pedihnya bencana Tsunami Aceh dan Medan pada 2004 silam, kemudian disusul gempa yang mengguncang Manokwari dan Bantul (Djogyakarta) pada 2006, banjir, angin puting beliung, jebolnya tanggul Situ Gintung, kecelakaan pesawat dan banyak lagi problem lainnya. Semuanya itu telah menelan ratusan ribu, bahkan jutaan nyawa rakyat Indonesia yang tak berdosa.

Tak hanya itu, dampak krisis moneter 1997 telah berimbas lagi pada krisis keuangan global yang terus menggoyang pondasi negeri kita saat ini adalah menjadi pemicum stres yang cukup besar bagi penduduk Indonesi, khususnya remaja yang sedang menjalani kehidupan serba labil.

Alhasil bunuh diri adalah menjadi jalan keluar yang sering dipilih oleh banyak remaja dan orang-orang dewasa. Kasus bunuh diri di kalangan remaja berdasarkan data resmi di Kepolisian Daerah Metro Jaya selama 2003 tercatat 62 kasus bunuh diri. Jumlah ini merupakan kelipatan tiga kali lebih banyak daripada angka tahun 2002. Usia pelaku bunuh diri tidak main-main, ada yang masih belasan tahun.

Kemudian berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia atau lebih dikenal World Health Organization (WHO) yang dihimpun tahun 2005-2007 sedikitnya 50 ribu orang Indonesia meninggal karena bunuh diri. Jumlah kematian itu belum termasuk kematian akibat overdosis obat terlarang yang mencapai 50 ribu orang setiap tahunnya.

Di Jepang fenomena bunuh diri remaja sangat besar. Demikian juga di Indonesia, sekitar tahun 2006-2007 kemarin adalah masa keemasaan bunuh diri. Tingginya angka bunuh diri di Indonesia mendekati negara pemegang rekor dunia seperti Jepang mencapai lebih dari 30 ribu orang per tahun dan China yang mencapai 250 ribu orang per tahun.

Semua kasus bunuh diri tersebut dilandasi pada mood atau suasana hati seseorang yang tidak stabil, dan remaja sangat rentan pada posisi ini. Faktor psikologis yang mendorong bunuh diri adalah kurangnya dukungan sosial dari masyarakat sekitar, kemiskinan, huru-hara yang menyebabkan trauma psikologis, dan bencana dan konflik berat yang memaksa banyak remaja meminggirkan diri ke tempat yang terasingkan.

Ketika kita hubungkan dengan fenomena merebaknya genre fiksi konyol yang menghibur ini, maka buku ini sangat tepat hidup di tengah-tengah masyarakat kita yang memang sedang mengalami kegelisahan yang cukup berat. Entah itu berlatar belakang kegelisahan ini atau hanya sekedar sebuah skenario pasar, namun inilah sedikit banyak jawaban atas fenomena merebaknya bacaan hiburan remaja di tanah air.

Tak bisa dipungkiri dengan adanya fiksi Konyol ini setidaknya sedikit mengurangi angka kematian akibat bunuh diri terhadap remaja-remaja di tanah air. Karena fiksi jenis ini berfokus pada ranah hiburan, untuk menghibur, bukan untuk menyampaikan pesan-pesan estetika yang mendayu-dayu sehingga membuat pembaca remaja menjadi bingung. Karena remaja Indonesi saat ini butuh hal-hal yang unik untuk menghilangkan rasa traumatik yang begitu peka terhadap dunia informasi yang semakin tak bersahabat.

Seperti contoh dalam novel ‘The Kolor of My Life’ yang merupakan pemenang satu pada sayembara menulis cerita konyol remaja 2008. Novel ini menawarkan keintiman seorang remaja terhadap satu-satunya kolor batik kawung bututnya. Sangking percayanya terhadap kekuatan batik kawung, ia menganggap bahwa kolor itu adalah nyawa keduanya, yang selalu memberikan keberuntungan. Tanpa kolor itu hidupnya terasa hambar, seperti hidangan enak tanpa garam. Dan gara-gara kolor itu pula hidupnya jadi berantakan, dituduh mengintip seorang kakek yang sedang mandi, tidak diberi uang jajan.

Demikian juga dalam kambing Jantan Raditya Dika yang penulis kutip sepenggal ceritanya dari dunia ebook beberapa waktu lalu, seperti berikut:

Esok paginya, ternyata jerawat gw makin banyak!!!! Tidakkkk? Rupanya ada yang infeksi gitu soalnya si tukang salon salah ngasih obat? Nyokap gw langsung panik, mulai saat itu dia tiap malem bersiin muka gw pake lation ama toner pembersih. Ajaibnya setiap kali dibersiin ama dia, paginya pasti jerawat gw berkurang banyak sekali!!!!

Selidik punya selidik, gw bertanya kepada sang mama?

Gw: Ma, kok jerawatnya ilangnya kok cepet banget sih? Lationnya bagus ya?
Nyokap: Wahhh? Rahasianya bukan dikrim ato tonernya, kung?
Gw: Trus?
Nyokap: Rahasianya tuh pada kain yang mama pake buat bersiin muka kamu!

Pas gw ngeliatin tuh kain ternyata bentuknya segi tiga, ternyata ada karetnya di bagian atas? Ternyata? Itu adalah kolor bokap gw!!!!!!! TIDAAAAAKKK? Jadi selama ini nyokap gw menjamah dan mengusap muka gw pake kolornya bokap? Huhuhuu? Nasip? Tapi manjur lho!


Peran Pasar dalam Menciptakan Tren Konyol

Dari aspek estetika kesusastraan, memang teenlit jenis ini lebih mudah diterima masyarakat karena gaya bahasanya yang lentur dengan tutur yang ringan, mengangkat hal-hal yang sepele, namun menghibur dengan teknik penceritaan yang mengalir seperti buku harian. Secara emosional jelas ini akan membangkitkan keterlibatan pembacanya yang notabene dari kalangan remaja, sehingga mereka enggan berpindah ke buku lain jika belum menyelesaikan cerita yang satu ini.

Di sinilah kaum kapitalis berperan membetuk selera pembaca hingga memproduksi puluhan judul cerita konyol dalam satu bulan, karena teenlit jenis ini ternyata lebih menguntungkan dibanding mencetak buku-buku lain. Dengan ongkos produksi yang minimal, keuntungan yang mereka peroleh sangat maksimal. Akhirnya genre tersebut menjadi tren yang cukup melambung saat ini.

Hal ini bisa kita lihat dari penerbit Gradien Mediatama yang masih satu kelompok dengan Gagas menerbitkan buku cerita konyol. Penerbit yang bermarkas di Yogyakarta ini pun berburu mencari penulis di blog dan akhirnya menemukan Yenny Lesly, yang isi blognya disaring kemudian diterbitkan menjadi buku Gokilmom: Diari Seorang Mami Dodol dengan label “buku gokil”. Setelah itu Gradien menerbitkan Anak Kos Dodol, Catatan Mahasiswa Gokil von Djokja yang dikarang Dewi Rieka Kustiantari. Buku ini dalam waktu dua bulan sudah masuk cetakan ketiga.

Beranjak ke penerbit lain seperti Gramedia Pustaka Utama (GPU) juga menangkap tren ini. Mereka menerbitkan dua judul buku gokil, yakni Jakarta Underkompor, Sebuah Memoar Garing yang ditulis Arham Rasyid alias Arham Kendari dan Ocehan Si Mbot: Gilanya Orang Kantoran karya Agung Nugroho. Dan pada 2008 lalu GPU sengaja mengadakan sayembara menulis cerita remaja konyol di tingkat nasional.

Demikianlah penerbit berlomba-lomba untuk menguasai pasar, namun karena isinya ringan dan renyah, banyak penulis-penulis ternama menyebutkan bahwa buku-buku jenis ini tidak bermutu dan mengesampingkan nilai-nilai moralitas. Namun kelompok penerbitan banyak menolak jika dikatakan buku ini tak mendidik pembacanya. Karena Mereka beralasan bahwa buku-buku ini memang sengaja dikemas ringan untuk menarik perhatian dengan harapan nantinya minat baca remaja akan tumbuh dan perlahan beranjak ke bacaan lebih serius.

Berdalih jujur atau tidak alasan itu, setidaknya cerita-cerita konyol ini memang harus memiliki batasan-batasan moral dan adat istiadat keindonesiaan, sehingga tidak menyesatkan pembaca. Materi yang kasar, menyinggung perasaan sekelompok orang, atau pornografi yang berujung pada pelanggaran terhadap UU APP adalah beberapa hal yang patut dijadikan pegangan dalam produksi.

Namun, semuanya kita kembalikan kepada otak produksi pasar yang notabene sangat kecil perhatiannya terhadap nilai-nilai dan aturan-aturan kemasyarakatan itu, karena kita sudah memasuki era globalisasi yang berarti kemenangan adalah milik kaum yang berkuasa. Sehingga pasar menentukan masyarakat, mengendalikan masyarakat dan membentuk selera masyarakat. Dan kita sebagai masyarakat dituntut untuk memilih produk-pruduk yang mereka tawarkan.

Apadapun remaja adalah menjadi sasaran empuk pruduksi perbukuan saat ini, karena budaya mereka adalah budaya selera yang sangat mudah dibentuk oleh pasar. Lagi lagi produksi diharapkan jangan sampai membunuh karakter-karakter mereka dan rasa keindonesiaan mereka yang semakin rapuh. Dalam produksi jangan hanya asal jadi untuk mengejar dealine, namun pada akhirnya bukan menghibur pembaca, malah menjadikan pembaca sebagai sasaran empuk salah satu misi yang tidak bersahabat dan menguntungkan salah satu pihak.

Akhirnya pasar akan terus menabung dan menghimpun keuntungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat pembaca dan remaja sebagai personal harus tangguh dalam menyikapi hegemoni ini. Karena selera boleh mengikuti zaman, supaya kita tidak dianggap cupu atau kuper, namun identitas yang berasas nilai-nilai dan asumsi itu sangat perlu ditanamkan oleh kita sedini mungkin.

Di sinilah kita perlu menanamkan ideologi untuk mempertahankan identitas diri melalui nilai-nilai agama, budaya, dan adat keindonesiaan kita, sehingga kita mampu menepis segala hal-hal negatif yang ditawarkan oleh pasar kapitalis yang terus bergerak maju semakin mengglobal hingga melenceng dari tatanan norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai keindonesiaan kita yang semakin genting.


Penutup

Demikian pemaparan singkat tentang Fenomena Fiksi Konyol yang bermula dari kedatangan seorang pemuda berkacamata bernama Raditya Dika dengan “Kambing Jantan” nya yang khas. Tak bisa dipungkiri fiksi jenis ini hadir di saat yang tepat ketika remaja tanah air membutuhkan penyegaran. Penyegaran yang tidak hanya bersifat menghibur, tapi lebih dari itu untuk tujuan yang besar menyangkut pengendalian diri remaja yang konon semakin dinamis dan tak terkendali dalam fenomena bunuh diri di Indonesi. Walau perangkap kapitalis cukup menggurita, setidaknya batasan-batasan itu harus ada, dan fenomena ini cukup lugas untuk menciptakan generasi yang kreatif yang menambah khazanah pernovelan tanah air menjadi beragam dan penuh warna.


Daftar Bacaan

Nurgiantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada, 2005 University Press

Stanton, Robert. Teori Fiksi, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2007

Wellek, Rene dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Jakarta: PT Gramedia, 1989

http://www.VHRmedia.com/Jakarta/TriWibowoSantoso/16:56 WIB/8Oktober 2007/

http://www.duniaebook.web.id/index.php/cerita-fiksi-dan-novel/73-ebook-kambing-jantan-novel/18:51/30 Mei 2009/

Koran Tempo, 17 Mei 2009

ORANG BIASA MENGUBAH DUNIA


Judul Buku : Karakter-karakter yang Menggugah Dunia

Penulis : John McCain dan Mark Salter

Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : 1, 2009

Tebal : 435 Halaman

Harga : Rp 75.000,


Resensi Oleh: Almuttaqin/Qin Mahdy
Koran Jakarta, Senin 27 Mei 2009



Tak mungkin pernah terpikirkan oleh akal sehat kita akan keistimewaan dari sosok manusia yang satu ini. Osela McCarty, seorang perempuan tua, miskin, pekerjaan kesehariannya adalah menjadi buruh cuci di kota Hattiesburg. Rumahnya kecil, tak ada barang-barang mewah di dalamnya dan tanpa alat pendingin. Namun, di balik kesedarhanaannya ternyata perempuan ini memiliki hati yang luar biasa besar terhadap dunia. Ia telah meruntuhkan pemikiran-pemikiran kolot sebagian besar manusia yang menganggap bahwa kebahagiaan hidup terletak pada kelimpangan harta dan bertumpuknya materi. Karena pada akhir hidupnya Osela adalah orang yang paling kaya di kotanya, dan ia mendedikasikan seluruh uang tabungan hasil ia mencuci sebanyak 250.000 Dollar untuk beasiswa bagi mahasiswa yang kurang mampu di Universitas Mississippi Selatan.

Tak ayal, kebaikan sederhana dari perempuan yang memiliki sifat pemalu ini telah menggugah nurani banyak orang di dunia, termasuk presiden Clinton, PBB dan Universitas Harvard memberinya gelar kehormatan. Tak ketinggalan media Amerika seperti New York Time, Life, People dan media ternama lainnya menyambut antusias berita yang menggugah ini dengan mencantumkan Osela di halaman depan sebagai penghormatan. Kenapa tidak? Ketika banyak manusia sibuk menimbun harta dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, mengonsumsinya dengan rakus, mengumpulkan barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Namun, Osela hanya mengatakan bahwa “Kebahagiaan itu bukanlah komoditas berlabel harga” (hlm 260). Tapi kelapangan jiwa untuk menerima segala pemberian Tuhan adalah sebuah pilihan yang sangat tepat. Karena hidup hanyalah sebuah jalan untuk menuju masa yang sangat panjang, dimana kebahagiaan itu terletak di sana, dan orang-orang yang mampu memberikan kebahagiaan kepada orang lain lah yang akan mendapatkannya.

Inilah buku yang berjudul Karakter-karakter yang Menggugah Dunia, yang ditulis oleh John McCain, senator terkemuka Amerika yang terkenal pantang menyerah dan produktif menulis dengan Mark Salter. Buku ini mengisahkan 34 orang yang menurut mereka pantas diteladani. Siapapun orangnya – tidak pandang bulu - , seperti buruh cuci pakaian yang akhir hidupnya mampu menyediakan beasiswa bagi mahasiswa kurang mampu, kemudian ibu rumahtangga yang terjun ke dunia politik dikala bangsa membutuhkan perannya, atau anak cacat yang mampu meraih 3 medali emas pada suatu ajang olimpiade.

Buku ini sarat dengan pengajaran, ditulis dengan emosi yang akan membuat nafas pembaca menjadi tertahan. Sebab, karakter-karakter pribadi yang ditampilkan dalam masing-masing sub cerita ini benar-benar sangat mengesankan, pilihan itu diambil dengan jeli oleh penulis, mewakili banyak unsur, antara lain tentang kepribadian manusia, kehormatan, kekuatan, tujuan hidup, penilaian, kreatifitas dan cinta.

POTRET MANUSIA ERA GLOBALISASI


Judul : Dunia di Mata Nuim Khaiyat

Penulis : Nuim Khaiyath

Penerbit : Cakrawala Publishing

Tahun : I, Februari, 2009

Jumlah : 339 halaman

Harga : Rp 57 000,-


Resensi

Oleh: Almuttaqin/Qin Mahdy

Koran Jakarta, Rabu 04 Maret 2009

Dulu, Indonesia mengenal istilah zaman milenium, sekitar awal 2000. Rakyat yang mendengarnya seolah tersambar petir di siang bolong, karena takutnya. Banyak masyarakat awam yang khawatir akan kehilangan pekerjaan, takut tidak makan, alhasil kekhawatiran itu berimbas pada gejolak sosial kemasyarakatan yang semakin dinamis, yang menuntut terkikisnya rasa kemanusiaan dari masing-masing individu dan golongan setiap harinya, hingga hari ini.

Kini tibalah saatnya giliran globalisasi. Mungkin di antara kita sudah bosan mendengar istilah ini. Oleh para pendukungnya, globalisasi dianggap air pasang yang sudah tiba saatnya, laksana langit yang hendak runtuh, niscaya tidak akan dapat dibendung, apalagi hanya dengan dua telunjuk kecil yang hanya mampu menanggung beban secangkir kopi panas dan sebuah batang rokok.

Bagi dunia bisnis, mereka menganggap globalisasi adalah ladang baru untuk bisnis besar yang akan mencetak pundi-pundi uang yang berlimpah ruah. Karena pasar bebas akan segera diberlakukan, sehingga nantinya uang adalah menjadi kekuasaan tertinggi dari sebuah peradaban, melebihi derajat kemanusiaan sang pembuat uang itu sendiri.

Buku berjudul Dunia di Mata Nuim Khaiyath ini mengajak pembaca masuk ke dalam gagasan rumit terhadap realitas persoalan besar tentang dunia dan manusia, termasuk gejolak globalisasi. Penulis akan mepaparkan secara mengalir dan sangat renyah serta sehangat tema pembahasannya terhadap inkonsistensi dunia saat ini.

Buku ini hadir pada momentum yang tepat ketika dunia sedang mengalami pergeseran nilai yang cukup besar, baik itu dalam persoalan kemanusiaan maupun dalam kehidupan ekonomi dan politik. Karena raja kapitalis sedang mengalami krisis finansial, yakni sakit jantung yang telah berimbas kepada seluruh urat saraf dunia, temasuk Indonesia yang sedang mengalami demam panas yang cukup tinggi. Sementara itu, China yang berada di ujung sistem kapitalis yakni komunis, justru kini merupakan negara yang paling kuat secara finansial di dunia. Akankah komunisme menyelamatkan dampak robohnya jantung kapitalis? Ini adalah sebuah inkonsistensi dunia.

Di mata Nuim, dunia ini memang tak lekang dari inkonsistensi. Seperti halnya Australia yang mengharamkan hukuman mati. Namun mereka sangat menantikan dan bergembira pelaku Bom Bali segera dihukum mati. Untuk orang lain hukuman mati itu harus dilakukan, tetapi tidak untuk diri sendiri. Kebenaran akan seketika berubah menjadi buruk, dan keburukan bisa diselimuti menjadi sebuah titah Tuhan yang bijaksana.

Seperti inilah potret kemanusiaan zaman ini yang digambarkan sedemikian hidup oleh seorang Nuim yang telah lama bergumul dalam banyak golongan sosial di belahan dunia. Ia tidak hanya sekadar pandai berkata, namun ia membawa berita baik untuk perubahan. Khususnya masyarakat di negeri ini. Perubahan yang menjadikan manusia untuk lahir, memulai menapak jejak untuk menjadi manusia yang berhati dan berbudi manusia.