15 Oktober 2009

KABINET PROFESIONAL BUKAN PROPORSIONAL PARTAI

Almuttaqin/Qin Mahdy

Pasca kemenangan pasangan SBY-Budiono pada pemilu Presiden Juli lalu, kini politik Indonesia kembali memanas dalam hiruk-pikuk perekrutan dan penyusunan kabinet Indonesia bersatu tahap ke-dua. Seperti era sebelumnya Partai Demokrat dan partai-partai yang mendukungnya sebenarnya sudah diadakan semacam kesepakatan perihal "jatah" kursi kabinet. Misalnya, Partai Demokrar, PKS dan PAN diberikan jatah tiga portofolio. Sementara itu, PKB dan juga beberapa partai pendukungnya masing-masing mendapat jatah kursi. Belum lagi sejumlah nama dari kalangan bisnis yang konon memodali kampanye SBY pada debut Pemilu lalu.
Tentu, kenyataan seperti ini adalah satu hal yang sangat berat bagi SBY demi mewujudkan janjinya untuk menguatkan kekuatan negara dengan sistem presidensial. Kendatipun presiden terpilih memiliki hak priogratif, tetapi jika SBY gagal mengambil kebijakan akomodatif terhadap kepentingan banyak parpol koalisinya, harapan terbentuk pemerintahan efektif melalui penguatan sistem presidensial akan nihil terwujud.
Mau tidak mau, SBY juga harus mengakomodasi parpol-parpol pendukung koalisinya. Bukan hanya terkait dengan alasan kontrak politik, melainkan untuk keberlangsungan pemerintahan ke depan. SBY membutuhkan parpol untuk koalisi di parlemen untuk mendukung kebijakannya. Karena tidak mungkin pemerintahan dijalankan sendirian. Bahkan ini sangat berbahaya jika SBY tidak mengakomodasi parpol pendukung koalisinya.
Namun, di sisi lain SBY tetap dituntut profesional dalam menentukan orang di kabinetnya. Karena seorang menteri berpengaruh besar dalam mengantar kesuksesan pemerintahan. SBY harus memahami, penentuan seorang menteri tidak boleh sebatas berdasarkan pada desakan dan tuntutan kontrak koalisi. Perlu disadari bahwa kabinet adalah forum untuk bekerja, bukan sebagai kavling politik. Jadi tidak ada koalisi dan oposisi di dalamnya karena di balik kemenangannya ada kepentingan rakyat. Rakyat yang selalu berharap pemerintahan dijalankan oleh orang-orang kompeten agar keterpurukan nasibnya berubah ke arah lebih baik.
Seperti pengalaman Kabinet Indonesia Bersatu versi satu, ini harus menjadi pengalaman bahwa mencomot kader partai koalisi tanpa pertimbangan profesional dan kompetensi akan berujung pada kerugian, baik fisik maupun mental bagi bangsa ini. Akibatnya, banyak sejumlah menteri terpaksa didudukkan tidak berdasar. Ada misalnya seorang kader partai yang sama sekali tidak punya pengalaman di bidang perhubungan, tapi diangkat sebagai Menteri Perhubungan. Kader partai lain diangkat sebagai Menteri Pengembangan Daerah tertinggal, padahal ia sama sekali tidak punya expertise, apalagi pengalaman di bidang itu.
Jika SBY kembali mengikuti model rekrutmen menteri seperti masa lalu, keterpurukan pemerintah baru hanya akan menjadi persoalan waktu. Kabinet harus disusun berdasarkan prinsip profesionalisme, bukan proporsional partai. Dahulukan figur yang memiliki kombinasi keunggulan dalam praktisi dan teoretisi. Setiap orang yang ditunjuk harus benar-benar mempunyai moral dan etos kerja yang tinggi, bukan yang sejak awal sudah punya obsesi untuk memperkaya diri atau partai yang diwakilinya.


Tidak ada komentar: