12 Maret 2010

BELUM WAKTUNYA TENANG BUNG!


Oleh: Qin Mahdy/Almuttaqin

Pekan ini ternyata belum waktunya kita tenang untuk duduk-duduk manis , bergoyang lidah, sambil ngopi di teras rumah, apalagi diterpa oleh angin-angin sepoi, sungguh nikmat rasanya! Sebab, setelah pengusutan kasus Bank Century oleh Pansus yang sedikit mengarah pada titik terang ternyata si "teroris" kembali mengamuk di negeri Serambi Mekkah (Aceh) dan negeri tempat berkumpulnya para Wali (Banten). Tiga Polisi kita sudah jadi korban beberapa hari lalu.
Berdasarkan hasil survei salah seorang pakar kriminologi, konon negeri kita ini memang pos teroris terbesar setelah Afganistan dan Filipina, di bawah payung dedengkot teroris dunia, Al-Qaidah. Luar biasa! Ini membuat nama Indonesia kembali melambung ke awang-awang setelah dinobatkan sebagai negara yang menduduki reting papan atas negeri korup di dunia. Itu sah-sah saja, memang itulah kenyataannya.
Tapi sebagai warga negara yang baik, tentu kita punya usulan baik kepada Pemerintah untuk menyelesaikan problem teroris yang tak berkesudahan ini. Pertama, Pemerintah harus melakukan kerjasama yang lebih khusus kepada semua masyarakat, terutama dunia pendidikan formal, mulai dari tingkat menengah hingga Perguruan Tinggi swasta dan negeri. Karena anak-anak muda adalah sasaran empuk yang gampang dibentuk dan dijadikan sebagai pengantin-pengantin mereka, termasuk saya.
Kedua, kepada ulama, Pemerintah harus lebih bersahabat dengan ahli-ahli agama dan dunia pesantren. Tidak meliriknya dengan sebelah mata. Sebab, sejauh yang saya lihat, selama ini pemerintah tidak sadar manfaat, bahwa pada hakikatnya pada ruang-ruang inilah semua manusia dibentuk. Ada yang menjadi kyai, politikus, dokter, guru, arsitek, dan bahkan teroris. Ini malah Pemerintah asik sendiri dengan Densus 88 yang konon lebih bertaji, padahal akar permasalahannya bukan pada peluru yang menembak mati, tapi ada pada kitab yang dikaji, murid yang mengaji dan hanya pada dua lumbung ini kita bisa menemukannya.

27 Februari 2010

HUBUNGAN SESAMA JENIS TAK MANUSIAWI

Qin Mahdy

Untuk Maulid Nabi Muhammad SAW 1431 Hijriyah



"Kebo aja jijik berhubungan sesama jenis, kenapa manusia mau?" Inilah salah satu bentuk kegelisahan seorang Ulama yang ia jewantahkan dalam isi ceramah Maulid Nabi di sebuah radio swasta beberapa menit lalu. Saya yang mendengarnya pun tak urung ikut juga gelisah bersama petikan kalimat beliau sambil menerawang dan mengingat-ingat kembali bagaimana sadisnya adzab Allah dalam kisah-kisah kaum Luth yang hancur-lebur di telan bumi karena menyalahi aturan ilahi kumpul sesama jenis (sodomi).

Pada akhirnya, kita sebagai manusia memang harus rajin membaca sejarah agar tak terjebak pada kehinaan dan kebinasaan yang sama. Dan perlu kita ketahui juga, bahwa "Manusia yang paling baik, posisinya bias jauh melebihi Malaikat, namun seburuk-buruk manusia bisa melampaui kehinaan binatang."


27 Januari 2010

MEMBACA SITUS KORUPSI INDONESIA


Oleh :Almuttaqin/Qin Mahdy
Koran Jakarta Senin, 25 Januari 2010

Wacana korupsi bukanlah suatu hal yang baru dalam perjalanan manusia modern saat ini karena jauh sebelum Republik Indonesia ini berdiri, di berbagai belahan dunia sudah dibicarakan korupsi sebagai bentuk antisipasi dan kepedulian mereka terhadap zamannya. Sejarah mencatat, di India, 2.300 tahun lalu, korupsi telah menjadi masalah serius dengan ditemukannya tulisan Perdana Menteri Chandragupa tentang 40 cara mencuri uang negara. Demikian pula di China, bahkan di Indonesia.

Sejak Kerajaan Mataram terbentuk, mereka sudah mengenal istilah sogok-menyogok. Bahkan VOC pada abad ke-20 bangkrut akibat korupsi merajalela di tubuhnya sendiri. Hingga pada 1950-an korupsi di Indonesia telah menjadi santapan pokok orang-orang parlemen dalam menjalankan misi pemerintahannya. Korupsi ibarat pelumas yang keberadaannya menjadi begitu penting sebagai motor penggerak roda pemerintahan. Karena itu, pada saat Orde Baru bercokol, terbentuklah sistem korupsi atau yang dikenal korupsi berjamaah.

Maka, tak heran jika Bung Hatta dulu pernah mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya. Hal itulah yang seolah-olah hendak dibuktikan atau didukung oleh Ajip Rosidi dalam bukunya, Korupsi dan Kebudayaan. Tentu, bukan karena ada kemiripan kata-kata, tapi lebih pada penegasan dan penjabaran atas pernyataan tersebut berdasarkan fakta-fakta yang ia temukan selama menjadi saksi hidup atas tingkah polah bobrok pemerintah, terutama masa Orde Lama dan Orde Baru. Korupsi merupakan masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa ini.

Bukan sekadar korupsi sebagai tindak pidana kriminal, namun korupsi sebagai perilaku yang secara massal mampu mengubah karakter dan perilaku masyarakatnya. Untuk itulah hadirnya kembali buku ini dengan wajah baru menjadi penting sebagai produk analisis dari seorang saksi sejarah yang mumpuni. Di dalamnya terdapat ulasan-ulasan komprehensif 20 lebih tema tentang berbagai masalah negara dari rujukan masa silam, mulai dari permasalahan utama korupsi, kebudayaan, bahasa, hingga pendidikan yang tentunya menjadi persoalan yang sangat intim terkait kemajuan dan kemandirian bangsa untuk masa yang akan datang.

Dengan gaya penulisan yang sangat khas Ajip Rosidi, ringan tapi tidak kering, analitis dan enak dibaca, tulisan ini perlu dihargai sebagai karya yang dengan caranya sendiri memberikan sumbangsih kepada upaya mencari solusi atas persoalan bangsa yang saat ini melilit kita. Atas dasar penghormatan terhadap pendapat orang lain, buku ini adalah bacaan perenungan kepala dingin, tidak baik dibaca dengan rasa semata, apalagi dengan hati yang panas demi kenyamanan kita bersama