15 Oktober 2011

TONTONAN SEGAR DI AKHIR TAHUN

Judul Film : The Adventures of Tintin: The Secret of The Unicorn
Genre : Petualangan dan Misteri
Sutradara : Steve Spielberg
Penulis : Steve Moffat, Edgar Wright
Pemain : Jamie Bell, Andy Serkis, Simon Pegg, Nick Frost, Daniel Craig
Distribusi : Paramount Pictures, Columbia Pictures, Nicklodeon

Tak ada yang lupa dengan Tintin, apalagi Anda yang pernah merasakan masa kanak-kanak pada periode 80-an hingga awal tahun 1990. Ketika itu komik terjemahan dari Eropa membanjiri bacaan anak-anak di tanah air. Tintin, salah satu komik yang paling memikat tiba-tiba menjadi sangat akrab dengan masyarakat Indonesia. Jadi bahan obrolan setiap bertemu teman. Bahkan tayangan adaptasi animasinya pun kerap kali muncul di salah satu televisi swasta di tanah air. Tak ayal gara-gara Tintin banyak anak-anak bahkan orang tua sengaja menghentikan sejenak aktivitas mereka untuk berkumpul di rumah-rumah kerabat atau di pondopo kelurahan cuma untuk menyaksikan kisah selanjutnya dari petualangan Tintin dan Snowy.

Kini, ada kabar baik untuk para pecinta Tintin, walaupun usia Anda saat ini sudah cukup tua untuk menonton film animasi. Jangan katakan tidak! Sebab, film animasi juga baik untuk orang dewasa. Apalagi cerita fiksi ciptaan Georges Remi tersebut akan hadir dalam kisah petualangan yang lebih segar dan menantang, apalagi dengan menggunakan format animasi film 3D yang kini digandrungi, film ini diyakini akan masuk dalam puncak box office. Namun Anda mesti bersabar, karena film ini baru akan rilis Desember 2011 mendatang.

Petulangan Mencari Harta Karun

Sama seperti dulu pernah dikisahkan dalam serial komik Tintin The Secret of the Unicorn, kali ini Tintin masih menjadi seorang wartawan muda dari Belgia yang akan ditugaskan keliling dunia untuk meliput berbagai peristiwa aktual. Ia akan terlibat dalam berbagai intrik dan misteri yang membuat dirinya berada dalam bahaya. Termasuk dalam misi besarnya untuk mencari harta karun bersama Kapten Haddock. Mendaki gunung, mengarungi samudera luas, mencari tepi padang sahara adalah beberapa ujian yang sangat mematikan buat mereka.

Cerita menjadi menarik ketika Red Rackham muncul bersama tentara hantunya untuk mengganggu ketenangan dunia. Di sinilah Tintin berusaha keras melakukan apapun untuk menyelamatkan manusia dan seluruh kehidupan di muka bumi. Menurut kabar yang dipercaya, film ini tidak hanya mengisahkan serial The Secret of the Unicorn , tapi juga menceritakan kisah petualangan dua serial lainnya yaitu The Crab with the Golden Claws dan Red Rackhman’s Treasure. Waw! Ini benar-benar petualangan yang sangat memukau. Penuh ekspresi. Apalagi Tintin masih ditemani oleh anjing setia miliknya, Snowy, tentu ada banyak sin yang nantinya akan membuat hati Anda berdebar-debar, lalu mata terbelalak dan kemudian susah menahan bahak.

Sentuhan Tangan Orang Hebat

Film dengan genre misteri, petualangan, keluarga, dan animasi ini boleh dikatakan film hebat, karena lahir dari racikan tangan orang-orang hebat. Mulai dari sutradara disetir khusus oleh sutradara ternama Hollywood, Steven Spielberg (E.T Extra Terresterial, Trilogi Jurrasic Park) dan diproduseri oleh Peter Jackson (King Kong). Film ini tidak dibuat dengan format live action seperti halnya Asterix maupun Lucky Luke. Dengan tujuan menjaga orisinalitas karakternya film ini digarap dengan format CGI animated.

Makin menarik pula karena aktor Jamie Bell dipercaya untuk menjadi pengisi suara Tintin. Pos-pos peran penting seperti Captain Haddock yang sinis serta tokoh Inspektur Thonson masing-masing diisi suaranya oleh Andy Serkis dan komedian Simon Pegg. Tidak ketinggalan ada aktor Daniel Craig yang angkat nama lewat perannya sebagai Agen 007 dalam dua film terbaru James Bond ini menjadi pengisi suara tokoh Red Rachan. Menarik sekali bukan!

Anda dan keluarga tentu sudah tidak sabar ingin menontonnya. Sembari menunggu rilis, ada baiknya kita buka lagi koleksi komik-komik kuno yang sudah lama terasingkan di rak buku rumah Anda yang paling belakang, dan kemudian mari bernostalgia! Terbit di Tax Magazine, 2011

BOCAH MATA-MATA DAN KISAH PERANG DUNIA II

Judul Buku : The Paladin
Penulis : Brian Garlfield
Penerbit : Ufuk
Tahun : 2011
Tebal : 575
Harga : 74.900,-

Paladin dalam kamus Oxford berbahasa Inggris berarti salah satu dari dua belas jawara atau prajurit-prajurit ternama dari Istana Charlemagne. Satu di antara mereka Count Palatine adalah yang paling perkasa. Ia juga tokoh pahlawan ksatria dan seorang jawara mumpuni.
Tentunya berbeda Paladin yang dimaksud Brian Garfield dalam novel “The Paladin”. Dalam novel ini Paladin yang dimaksud penulis adalah seorang anak kecil, nakal, usia 14 tahun, pada mulanya hanya ingin melihat apa yang ada di sebelah pagar setinggi kepala yang menutupi desanya di dekat Westerham. Namun, sebuah insiden yang menyebabkan Christopher bertemu dengan Mr. Winston Churchill, pria tua berbadan gendut, si pemilik pagar. Christopher kemudian ditawan dan mendapatkan hukuman karena telah merusak pagarnya.
Selama beberapa hari dalam tawanan Mr. Churchill, akhirnya Christopher mengetahui siapa pria tua itu dengan segala tabiatnya. Pria tua yang selalu menghabiskan waktu dengan mengeluh bahwa dirinya telah selesai di dunia politik, kariernya sudah hancur. Tidak ada yang tersisa, ia tidak melakukan apa-apa lagi kecuali tembok-tembok pagar yang harus ia bangun, melukis, serta menulis buku yang tidak akan pernah dibaca oleh siapapun.
Mereka, dua laki-laki yang kemudian menjadi sangat bersahabat. Mr. Churchill yang pandai mengeluh dan Christopher nakal pemilik sepeda bedebah.
Pada saat yang tidak terduga, tahun 1938, ketika Christopher masih duduk di sekolah negeri, pasuka Jerman menyerbu Austria. Ceko pun menjadi menggigil kedinginan dan kelaparan, hanya karena supaya Hitler dan para begundalnya dapat berpakaian dan makan mewah. Pada akhir musim panas 1939, pasukan Jerman berlanjut menginvasi Polandia dan Belgia secara membabi-buta. Karena kebrutalan tersebut akhirnya Inggris menyatakan perang dengan Jerman. Mr. Churchill ikut-ikutan marah dan kembali ke parlemen. Anak-anak di sekolah tempat Christopher belajar pun mulai bernyanyi “Kita akan menghentikan kekacauan dari Siegfriend Line”. Mereka akhirnya mengetahui apa arti dari pamer kekuatan bersenjata yang sering terjadi di benua itu.
Hingga pada titik nadir yang sangat mencemaskan bocah Christopher bersedia dikirim atas perintah Mr. Churchill dan Paman John untuk menjadi mata-mata Inggris di Belgia pada dekade tergelap Perang Dunia II. Sebuah pekerjaan berbahaya untuk Raja dan negerinya. Di sana ia melakukan spionase untuk menemukan keadaan tentara Belgia, melaporkan semua yang dianggap penting, menerobos tanpa dicurigai ke dalam wilayah-wilayah musuh yang terdalam. Bahkan pekerjaan berat seperti membunuh pria-wanita satu demi satu atau ribuan sekaligus terpaksa harus dilakoninya.
Dengan mengirim Christopher, orang-orang dewasa telah mengabaikan anak muda yang sedang bermain ketika mereka membicarakan hal-hal rahasia mereka satu sama lain. Siapa yang akan mencurigai anak muda seusia Christopher sedang memata-matai rahasia Negara? Ini adalah sebuah petualangan yang menegangkan sekaligus penuh tipu-muslihat.
Banyak hal-hal yang luar biasa yang dijumpai oleh Christoper dalam misi besar ini. Ia menyelinap masuk kota, menembus kamp-kamp musuh, mendekati pos-pos penjagaan lawan yang memiliki persenjataan lengkap, masuk hutan, bahkan seperti tindakan bunuh diri harus ia pilih untuk sebuah pekerjaan yang tidak menjanjikan apa-apa.
Pada akhirnya keberhasilan atau kegagalan adalah satu jawaban yang mesti ditelusuri melalui halaman-halam buku dari penulis karya fenomenal Dead Wish ini. Ia cukup piawai memainkan adegan-adegan dramatis, menguatkan karakter-karakter tokoh, mengolah konflik, dan membentangkan grafis-grafis yang mampu membawa pembaca pada suasana nyata Perang Dunia II.
Buku ini dikemas menjadi sebuah novel yang sangat ringan untuk dibaca dan memakai lisensi yang biasa dipakai dalam karya fiksi populer. Hanya Christopher yang dapat mengatakan seberapa dekat dan pada hal-hal apa cerita ini serupa dengan kenyataan yang sebenarnya. Karena sosok pahlawan dalam cerita ini adalah tokoh nyata. Sekarang usianya sudah sangat tua. Buku ini memang berdasar pada kisah hidup Christopher Creigton yang sangat menakjubkan!

Terbit di Koran Jakarta, 2011

PEREMPUAN YANG MEMBELAH BULAN


Untuk Butet Manurung, Guru Anak-anak Rimba Jambi

Cerpen Oleh Qin Mahdy

Tak ada hutan bakau di sini. Apalagi rempah-rempah. Karena ini bukan tanah pantai, bukan pula humus Amazon di negeri yang jauh. Ini adalah lembah kami, lembah yang hijau, hijau yang hutan, hutan yang rimba, rimba yang sangat beradab. Di sini ada banyak batang jati dan meranti yang sudah besar dan rimbun. Dahan-dahannya yang kekar, tinggi dan merambat, mampu menutupi cahaya sinar matahari saat siang ingin menyentuh bumi. Sejuk. Di sisi kanan-kiri tumbuh rerumputan kecil yang membentangkan panorama hijau seluruh bumi. Hanya garis-garis jalan yang terlihat agak berwarna kecoklatan, berkelok-kelok menyusuri gubuk-gubuk kecil yang berdiri asri di antara dua pohon beringin besar. Pohon beringin itu masih menjadi primadona di hutan ini sejak ratusan tahun lalu, terutama bagi burung-burung kecil. Saban hari buahnya selalu menarik perhatian mereka. Banyak sekali burung berkumpul di sana, pagi, siang, atau sore. Mereka berpesta, sambil menyanyikan lagu alam, alam yang telah membebaskan mereka hidup.

Tak jauh dari gubuk itu, di penghabisan pohon meranti ke-sembilan, di sana mengalir sebuah sungai kecil yang bening diapit oleh bukit-bukit kecil yang menyembul. Inilah barangkali yang membuat daerah kami dinamakan Bukit Dua Belas. Terletak di tanah Jambi. Walau jumlah sembulannya kurang dari dua belas, paling tidak nama itu sudah mashur hingga ke negeri luar seperti Palembang, Jawa, bahkan Belanda dan Inggris juga sudah tahu. Jadi tak perlu merisaukan namanya. Apalagi bagi kami orang-orang rimba yang dikenal,
Bertubuh onggok
Berpisang cangko
Beratap tikai
Berdinding baner
Melemak buah betatal
Minum air dari bonggol kayu
Berkambing kijang
Berkerbau tenu dan bersapi ruso.

Kami senang hidup di sini. Di sini ada Induk[1], ada pula Tumenggung, Depati, Menti, Mangku, Para Anak Dalam, Debalang Batin dan para Tengganai. Mereka semua para ksatria pemberani dan memiliki kekuatan hebat. Di suku kami Tumanggung ibarat raja. Tak ada yang berani melanggar titahnya. Bahkan bila ia mengajak kami berperang atau untuk meninggalkan hutan ini, kami semua harus siap. Tak peduli siang atau malam, karena adat adalah kuasa, akan memberikan kebaikan bagi yang menjalankannya.

Namaku Liman. Usiaku 14 tahun. Cuma aku lebih suka dipanggil “Li”, bukan “Man”. Man itu panggilan yang jelek. Sedangkan Li nama yang bagus. Mengingatkanku keistimewaan Ibu Guru Butet. Dia yang pertama kali memanggil aku Li. Awalnya Ibu Guru menceritakan tentang kehebatan silat Jetli dari negeri Jepang. Lalu aku mencoba membayangkan gerakan-gerakannya, terus mencoba, menggerakkan tangan dan kaki, dan akhirnya aku benar-benar menjadi bisa melakukan silat seperti Jetli. Haitt! Dan mulai hari itu aku sering dipanggil Jetli oleh Ibu Guru dan semua kawan-kawan. Aku senang. Ilmu silat itu pun kini sudah aku turunkan kepada adik-adik dan kawan-kawanku, biar mereka bisa membela diri dari serangan musuh tanpa susah payah harus memikul tombak. Haitt!

Ibu Guru memang hebat, walaupun dia orang terang[2], namun budi-bahasanya baik, lakunya juga baik. Sudah hampir 5 tahun dia bersama kami di sini, namun dia tidak pernah mengolok-olok kami walau kami memiliki rambut yang berbeda, agak keriting. Punya telapak kaki tebal dan gigi berwarna kecoklatan karena suka merokok dan sering makan sirih. Malas mandi dan tidak berpakaian, cuma kain cawat untuk menutupi kemaluan kami. Dia juga tidak pernah mencelakai kami walau kami sering nakal kepadanya. Bahkan dia rela meninggalkan kehidupannya di kota cuma untuk hidup bersama kami di hutan ini. Padahal di kota konon banyak sekali rumah-rumah bagus, pakaian indah-indah dan makanan enak-enak. Dia malah mau berteman nyamuk-nyamuk hutan di sini. Ikut memakan tikus, menggali tanah, menanam umbi, mengasuh adik, dan memanggul damar sampai ke dusun tauke[3].

Ibu Guru juga punya banyak sekali ilmu. Aku salut padanya. Bahkan ilmu membaca, menulis dan berhitung, dialah ahlinya. Ketika belajar bersamanya, aku selalu menggeleng-gelengkan kepala sebanyak 9 kali karena takjub. Itu bukan karena kebodohanku. Tak ada yang seperti dia di dunia ini. Hatinya baik, santun pekertinya, besar jiwanya. Kalau saja nanti dia pergi untuk selama-lamanya dari sini, Jetli tentu sedih dan akan menangis paling kencang. Adikku mungkin juga begitu.

Besok, waktunya Ibu Guru pulang ke kampungnya ke kota. Cuma sebentar. Orangtua dan anak-anaknya di sana sudah rindu. Aku juga ikut senang, karena aku dan Limun adikku diajak ikut bersamanya ke kota. Kota impian semua orang. Aku sampai tidak bisa tidur memikirkannya. Ketika menangkap ikan di sungai, bermain di rumput dan bercanda dengan kawan-kawan di atas pohon.
“Oh Jakarta. Macam mano kota itu, yo. Aku dan Limun dibuatnyo penasaran!”
“Jetli! Limun! Apakah kalian sudah bereskan barang2 kalian?” Suara Ibu Guru tiba-tiba mengagetkan lamunanku.

*****
1999. Usiaku saat itu baru 7 tahun. Suatu siang yang terang tiba-tiba berubah menjadi gelap. Kami diributkan oleh seorang perempuan dan dua lelaki yang mencoba menyelinap masuk ke daerah kami melalui muara pintu Selatan Bukit Dua Belas. Mereka berpakaian lengkap layaknya orang terang.
Berpinang gayur
Berumah tanggo
Berdusun beralaman
Beternak angso.

Mereka membawa buntilan yang cukup besar. Ini ancaman bagi kami selain serangan binatang-binatang liar. Kami merasa terganggu. Selama ini orang terang dikenal sangat berani masuk ke wilayah kami. Karena wilayah kami hutannya masih sangat asri. Ada banyak sekali pohon-pohon besar di sini. Mereka menginginkan itu untuk dijadikan balok, lalu dikirim ke kota untuk dijual dengan harga yang sangat tinggi. Kami semua yakin ketiga orang terang itu punya niat jahat mendatangi daerah kami. Apalagi satu perempuan berkawan dua lelaki. Itu satu hal yang tidak benar menurut adat kami. Mereka telah mengganggu ketenangan kami.

Untung ada Tumanggung, Depati, Mangku dan para Anak-anak Dalam. Tumanggung langsung marah besar. Perempuan dan tiga lelaki itu tampak ingin bercakap-cakap dengannya, namun tanpa basa-basi Tumanggung langsung mengusir ketiganya dari daerah kami. Sebagai kepala suku ia memang benar, kami tidak boleh langsung percaya terhadap orang-orang asing yang datang. Karena mereka semua punya niat jahat ingin mencuri hutan. Hutan tempat kami hidup. Bila mereka punya niat lain yaitu berburu binatang liar. Kami tidak sudi binatang-binatang kami punah, karena alam memiliki titah, alam punya ekosistem, bila satu ada yang punah, maka itu artinya kelak akan terjadi bencana besar menimpak kami. Tumanggung dan para Anak Dalam adalah ksatria kami, mereka ada yang mengerti bahasa orang terang, tahu saat-saat orang ingin berbuat jahat. Kejadian kali ini adalah satu bukti kami memang harus selalu waspada terhadap tindak kejahatan yang datang saat-saat tidak terduga.

Tak beberapa lama setelah kejadian, tiba-tiba perempuan itu datang lagi. Namun kali ini dia tidak dengan teman-temannya. Ia sendirian. Ia mencoba masuk ke wilayah kami dengan sopan, tersenyum, dan mengangkat kedua tangannya.
“Saya orang baik-baik. Saya ingin bersahabat dengan kalian. Saya sedang membutuhkan makanan.”
Perempuan itu medekat ke arah kami. Tumanggung lagi-lagi berdiri sigap berada di posisi paling depan. Keduanya lalu bercakap-cakap. Saat itu aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi hasilnya perempuan itu diizinkan untuk tinggal sementara bersama kami di hutan ini. Lalu ia dihidangkan makanan oleh Tumanggung. Barangkali ia sudah kehabisan makanan saat menyusuri hutan kami. Ia disuruh istirahat. Lalu ditemani Temanggung berjalan-jalan menyusuri sudut-sudut hutan kami.

Induk dan semua Ibu-ibu yang lain risau atas kedatangan perempuan itu. Ia telah mengganggu keharmonisan kehidupan kami orang-orang rimba. Kami semua takut kalau saat tidur nanti perempuan itu memanggil teman-temannya untuk membunuh kami. Orang terang dikenal punya senjata bedil yang sangat hebat. Bisa membunuh orang sekaligus dalam satu dentuman. Sungguh! Beberapa malam setelah kedatangan perempuan itu kami benar-benar dibuatnya tidak bisa mendengkur.

Saat pagi menjelang. Perempuan itu memilih ikut bersama kami pergi ke dusun untuk menjual damar. Ada Induk dan beberapa Anak Dalam ikut pergi. Namun, siang itu ia masih menggunakan pakaiannya yang lengkap. Melihat itu Induk memberikannya sebilah kain. Lalu dipakaikan pada perempuan itu. Ia tampak cantik dengan kain itu. Kami semua tersenyum. Setelah perbekalan siap, kami segera menyusuri bukit-bukit kecil, turunan, hutan berduri, melewati sungai, hingga sampai ke dusun yang kami tuju. Aku tidak tahu ini daerah apa namanya. Para Anak Dalam menyebutnya dusun terang. Wilayah yang memiliki rumah bagus-bagus, ada motor dan sekolah tempat belajar. Ada pasar juga tempat menjual berbagai macam makanan.

Sampailah ke sebuah tempat biasa kami menjual damar. Lalu damarnya ditimbang. Dan kami menerima beberapa lembar uang. Namun, tiba-tiba perempuan asing itu ribut dan berbicara dengan Induk.
“Induk, harga damar itu Rp 3000, bukan Rp 2000. Kita sudah ditipu. Kita rugi Rp 21.000.”
Induk tetap diam saja, tanpa mengeluarkan satu kata pun.
“Ini mesti kita tuntut, Induk!”
Induk terlihat masih tenang-tenang saja, demikian pula Anak Dalam. Mereka juga diam. Mereka segera berjalan pulang. Singgah di sebuah toko, berbelanja rokok, kopi, gula, beras dan kebutuhan lainnya. Sementara perempuan itu risaunya bukan main.

Sampai di pemukiman, perempuan itu menceritakan kejadian yang sudah dialami oleh rombongan saat menjual damar. Ia menjelaskan bahwa selama ini kami sering ditipu oleh pedagang saat menjual damar. Perempuan itu menyuruh kami harus bisa berhitung supaya tidak bisa ditipu. Sangat penting untuk mengerti berapa berat timbangan dan berapa jumlah uang yang mesti kami terima. Demikian penjelasannya.

Depati, Menti, Mangku, Para Anak Dalam, Debalang Batin dan para Tengganai tersentak mendengar penjelasan perempuan itu. Mereka berang. Tumanggung yang tak kalah berang. Orang terang selama ini memang menjadi musuh kami. Mereka sering menyebut kami orang-orang Kubu. Orang yang bodoh dan dungu. Tak pandai membaca dan berhitung. Akhirnya Tumanggung minta perempuan itu supaya diajarkan cara berhitung kepada seluruh masyarakat kami, tak terkecuali anak-anak. Mereka sampai rapat untuk meminta diajari. Namun, perempuan itu menyuruh kami sekolah di luar saja.
“Ah ndak suko sekolah di luar. Harus pake seragam.” Salah satu Anak Dalam di antara mereka berucap.
“Ndak suko jam 7 berangkat jam 12 balik. Aku mau yang seenak aku.” Yang lain menimpali.
“Hahaha.” Mendengar itu aku dan yang lain tertawa.

Perempaun itu berpikir keras. Tak berapa lama kemudian akhirnya ia mengiayakan ajakan Tumanggung dengan untuk mengajar kami dengan model pendidikan seenak kami. Sesuai dengan kemauan dan kebutuhan kami. Kapan kami ingin belajar dan kapan kami ingin bermain, kamilah yang mengatur, walau kemudian perempuan itu harus membuat semacam jadwal untuk bisa kami ikuti.

Belum sempat mengajarkan kami berhitung, perempuan itu sakit keras. Badannya panas sekali. Hampir satu minggu ia sakit. Sesuai dengan tradisi kami, orang sakit tidak perlu dirawat. Ia mesti ditinggalkan dari wilayah ini atau dibuang sebelum penyakitnya akan mendatangkan wabah bagi yang lain. Beberapa orang di antara kami sempat bertengkar karena berbeda pendapat. Karena sesuai adat, bila ada yang sakit harus ditinggalkan sendirian hingga ia sembuh sendiri dan mencari jalan pulang. Sedangkan perempuan itu punya janji untuk mengajarkan kami berhitung. Namun keputusan di tangan Tumanggung, akhirnya ia diobati dan tak lama kemudian sembuh. Kami pun senang lalu menagih janji minta diajarkan cara berhitung.

Awalnya kami mulai diajarkan cara membaca, menulis dan berhitung. Setelah kami mampu membaca, beberapa tahun kemudian kami diajarkan cara bertani dan bahkan konsep tentang peraturan perundang-undangan, khususnya UU HAM. Diajarkan membaca, menulis dan berhitung katanya agar kami tidak ditipu saat beinteraksi dengan orang-orang terang. Diajarkan bertani katanya agar kami mampu mengelola lahan jika hutan habis, dan undang-undang diajarkan agar kami mampu bertahan dan mencegah perbuatan jelek bagi perambahan hutan yang terjadi di hutan kami.

Sejak saat itu kami telah mengubah kekhawatiran kami menjadi pujian yang tak terhingga kepada perempuan itu, Ibu Guru Butet. Terima kasih kau telah datang kepada kami. Kau adalah perempuan yang telah membelah bulan, lalu memberikan setengah cahayanya untuk menerangi hidup kami. Kini kami tak bisa dibodohi lagi karena kami sudah bisa membaca dan behitung. Kami sudah bisa membaca buku, mencari pengetahuan dari kertas-kertas bertulis, menghitung berat timbangan dan menghitung berapa jumlah uang yang mesti kami terima.

*****
“Apo kito sudah sampe, Ibu Guru?”
Ibu Guru tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Masih jauh rupanya perjalanan kami ke kota. Setelah melalui jalanan berwarna hitam yang berkelok-kelok, naik-turun, kini mobil ini berhenti di depan sebuah gerbang. Di sana tertulis Bandara Sultan Thaha Saifuddin Jambi. Tak lama kemudian kami masuk ke sebuah bangunan. Aku sempat terkejut karena ruangan itu dingin sekali. Rupanya ada banyak sekali orang terang di sana. Duduk di tempat duduk yang berbaris rapih. Mereka putih-putih. Bersih-bersih. Bajunya indah-indah. Ada yang menggendong anak. Ada pula yang mirip seperti aku pakaiannya. Pasti dia juga mau ke kota seperti aku. Haha
Sejurus aku duduk, terdengar suara yang besar sekali di ruangan itu.
“Kepada seluruh penumpang pesawat Garuda Indonesia tujuan Jakarta dengan nomor penerbangan 7311AF harap memasuki pesawat sekarang juga. Kami ulangi sekali lagi…”
Aku, Limun dan Bu Guru bergegas menuju sebuah kendaraan yang sangat besar.
“Apo ini namonyo jugo mobil, Bu Guru? Tanyaku.
Ibu Guru Butet tersenyum mendengar pertanyaan luguku.
“Ini pesawat, Jetli.”
“Cam mano pulak jalan kendaraan ini, Bu Guru” Tanya Limun menimpali.
“Terbang…” Jawabnya singkat sambil membentangkan kedua tangan di dadanya.
“Apo…? Terbang, Bu Guru? Macam burung, begitu?” Aku penasaran.
Ibu Guru mengangguk.
“Aiiih…” Aku dan Limun menyeringai.
“Takut jatuh, Bu Guru!” Tegasku.
“Tak apa-apa, nanti kalian akan senang.”

Jambi, 17 Agustus 2011

[1] Orangtua (Ibu)

[2] Sebutan untuk orang luar

[3] Nama panggilan bos tempat menjual damar

Cerpen ini dinobatkan sebagai pemenang 1 dalam “Lomba Cipta Cerpen Pemuda Tingkat Nasional Tahun 2011”