13 Oktober 2009

MENGURANGI TRANSPARANSI MEDIA


Sejarah perjuangan Bangsa Indonesia jauh sebelum kemerdekaan 1945 dikumandangkan, sebenarnya telah menggoreskan banyak catatan penting yang mesti menjadi pegangan kita dalam menangani berbagai problem stabilitas keamanan di negeri ini, terutama masalah terorisme yang mulai merebak sejak runtuhnya WTC dan Ventagon pada 2001 lalu menyusul ledakan di Paddy’s Pub dan Sari Club Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang. Peristiwa ini sungguh membawa dampak buruk bagi citra Indonesia di mata dunia, termasuk travel warming yang dilakukan oleh banyak negara.

Menangani persoalan teroris bukanlah perkara yang gampang, sebab memburu teroris sama artinya dengan “mencari jarum dalam jerami”, walau bagaimanapun canggihnya peralatan yang kita digunakan, kemudian diturunkan berkompi-kompi pasukan Densus 88, kita akan tetap sulit untuk menemukan batang hidungnya jika transparansi media masih terus bebas memberitakan tentang pergerakan Densus 88 dan TNI dalam memburu Noordin M Top dan kawan-kawannya.
Beberapa hari lalu pasca penyergapan di Kedu misalnya, media kita berduyun-duyun memberitakan kematian Noordin M Top, namun toh Noordin M Top ternyata masih ayun-ayun kaki dan tertawa terbahak-bahak, menertawakan Indonesia dan media informasi kita yang terlalu over dalam pemberitaan.

Demikian pula dalam pemberitaan dan diskusi seputar pergerakan Densus 88 dan TNI, Seyogyanya peta pergerakan ini harus dirahasiakan, karena jika ini dipamerkan di hadapan publik, yang membaca informasi ini bukan hanya masyarakat Indonesia yang baik-baik, tapi teroris juga membaca media, mereka juga mengikuti pemberitaan di televisi. Artinya kita terjebak dalam skenario yang salah yang justru memudahkan mereka untuk mengambil langkah-langkah persembunyian.

Transparansi media dalam memburu teroris ini memang perlu dalam upaya sosialisasi kepada masyarakat luas, karena mereka adalah satu elemen penting yang tak boleh dipisahkan dari pencapaian keamanan di negeri ini. Namun, apa jadinya jika musuh tahu bagaimana pergerakan kita, strategi penyerangan yang kita gunakan, atau kita sedang memburu siapa, ini bisa melumpuhkan kerja keras aparat yang selama ini sudah diatur sedemikian rupa solidnya.

Semestinya kita harus kembali belajar pada pergerakan perjuangan Tentara dan Rakyat Indonesia zaman dulu pada operasi Gerilya yang diam. Pada waktu itu tak satupun media informasi yang memberitakan pergerakannya, skenario disusun rapih, toh pada 1945 kita bisa mencapai satu puncak kemerdekaan yang dinanti-nanti.

Oleh karena itu mengurangi informasi media terhadap pemberitaan pemburuan teroris adalah satu jalan yang mesti ditempuh jika Indonesia ingin cepat memperoleh hasil, karena dengan demikian kita telah membutakan mata teroris terhadap peta pergerakan Densus 88 dan TNI. Dan jika media memang ingin memberitakan tentang teroris beritakanlah seperlunya saja, jika itu dipandang tidak membahayakan bagi kepentingan perjuangan ini. (Almuttaqin/Qin Mahdy)

Tidak ada komentar: