29 Juni 2009

FENOMENA 'SI KONYOL'




















KETIKA FIKSI HARUS MENGHIBUR PEMBACA REMAJA

Oleh: Almuttaqin/Qin Mahdy


Pendahuluan

”Kata-kata tak hanya mempengaruhi kita secara kadang-kadang; kata-kata mengubah kita, kata-kata memasyarakatkan kita dan sebaliknya.” (Koran Tempo, 17 Mei 2009) Demikianlah pernyataan singkat David Riesman salah seorang sosiolog ternama asal Amerika. Dalam sepenggal kalimat ini David Riesman mengungkapkan bahwa, betapa kekuatan kata tak bisa dianggap remeh, karena kata bisa menjadi sihir yang mampu mengubah semua keadaan, sehingga pandangan kita tentang kekerdilan bisa diubah dan dibelokkan menjadi makna yang lain oleh kata.

Kata-kata itu tak hanya apa yang lantas kita ucapkan sehari-hari, namun lebih dari itu kata adalah tulisan-tulisan, angka-angka, atau simbol-simbol yang telah memberikan makna atas satuan pernyataan utuh, sehingga pesan-pesan bisa ditangkap oleh pembaca yang gemar membalik lembar buku-buku. Apalagi dalam tulisan-tulisan fiksi yang lebih menyentuh dengan emosi, akan sangat menyihir. Seperti halnya sepotong surat Sulaiman yang mampu menundukkan Ratu Bilqis pada ratusan abad silam, atau mantra keris Si Ginjai yang berhasil membuat tunggang-langgang lawan yang ingin menguasai tanah Jambi, sehingga mereka mengakui keberadaan dan kekuatan kata tak berakhir hanya sebagai makna yang bias, tapi lebih jauh pada makna yang luas.

Kata-kata itu tidak dangkal. Adakalanya ia berupa seteguk air di padang gersang bagi musafir-musafir dahaga, sehingga ia menjadi penyejuk di bawah terik panas matahari yang membakar. Demikian halnya fenomena ‘fiksi konyol’ remaja Indonesia saat ini yang memuat kata-kata lucu di dalamnya. Sehingga banyak pembaca, khususnya remaja dibawa untuk terpingkal-pingkal membuka tawa atau hanya sekedar tersenyum simpul. Perlu kita ketahui bahwa ‘fiksi konyol’ tersebut hadir bukan sekedar sebagai pengisi titik-titik jenuh pernovelan tanah air, namun tentu ada misi terselubung yang menyebabkan mereka berduyun-duyun muncul ke permukaan bak jamur di musim penghujan.


Munculnya Fenomena ’Si Konyol’

Lahirnya sebuah karya sastra merupakan manifestasi dari penelaahan bagi para pengarang terhadap realitas kehidupan yang mereka alami, baik dalam lingkup lingkungan di sekitar mereka tinggal, maupun imaji-imaji yang pada hakikatnya juga lahir dari fenomena-fenomena kehidupan itu sendiri. Banyak para ahli sastra mengakui ini, karena dalam fiksi tidak ada kebenaran mutlak dan tidak ada pula imajinasi yang bersifat original. Sehingga keduanya saling kait-mengait dan saling melengkapi dalam setiap kondisi apapun, karena itulah sejatinya fiksi.

Ada satu hal yang cukup menarik perhatian penulis pada fiksi remaja dewasa ini, yaitu munculnya fenomena ‘Si Konyol’, yaitu fiksi yang bertemakan tentang kehidupan remaja yang kocak, ada yang berbentuk cerita dan ada pula berupa catatan harian yang mampu mengundang tawa bagi para pembacanya.

Ketika bermain ke toko-toko buku ternama, tentu di sana kita akan menemukan seorang pemuda sedang duduk di dalam sebuah botol aqua galon. Atau mungkin akan melihat wajah seseorang yang berkacamata dengan hidung dan telinganya menyerupai seekor babi, sementara lelaki di sebelahnya yang hanya memakai celana kolor dan singlet sedang berteriak sambil mengangkat kompor minyak tanah di atas kepalanya. Ini bukan sirkus manusia aneh, tapi merupakan gambar-gambar sampul buku yang sedang memenuhi rak-rak utama di berbagai toko buku. Buku yang biasanya bertuliskan “gokil” dan “dodol” pada judulnya ini memang sedang menjadi tren fiksi remaja saat ini.

Tak bisa dipungkiri, fenomena buku kisah-kisah keseharian kocak yang dialami penulisnya ini bermula dari kedatangan seorang pemuda berkacamata bernama Raditya Dika dengan “Kambing Jantan” yang merupakan hasil adopsi dari blog pribadinya pada 2005 silam. Tak ayal ‘Kambing Jantan’ mampu menciptakan tren baru setelah pernovelan di tanah air masih didominasi oleh novel-novel datar dan bacaan-bacaan serius. Memang ada sebelumya bacaan kocak seperti Lupus, namun ini memiliki warna yang cukup berbeda dan sangat apresiatif. Setelah itu mulai muncul karya-karya epigon seperti Pocong, Jakarta Underkompor, Sebuah Memoar Garing, Ocehan Si Mbot: Gilanya Orang Kantoran, dan banyak lagi catatan-catatan anak dodol lainnya.

Latar belakang penulisannyapun saat ini sudah sangat beragam, mulai dari kehidupan sekolah, kantor, hingga dokter gigi menjadi tema yang mampu digarap oleh mereka yang telah menyentuh seluk-beluk berbagai profesi. Sehingga cerita tidak hanya berputar pada lingkup sekolah dan pergaulan, tapi sudah bervariasi dan semakin liar.

Setelah mengetahui fenomena merebaknya fiksi Konyol ini, tentu ada satu pertanyaan yang paling mendasar yang perlu kita kritisi, yaitu apa penyebab munculnya hegemoni tema konyol ini? Berlatarbelakang realitaskah? Atau hanya sekedar tren yang sengaja diusung oleh kaum kapitalis pasar?


Fiksi Konyol untuk Menghibur Pembaca

Cerita remaja konyol bisa dikategorikan sebagai fiksi remaja populer, atau sering disebut ”teenlit” sebagai buah cerita dari dan untuk anak-anak muda yang sedang mencari identitas diri. Di sana cerita tidak menggurui, hanya bersifat menghibur dalam sensasi kehidupan remaja masa kini yang praktis dan dinamis. Satu hal yang membedakan antara fiksi populer dan fiksi serius, yaitu mengenai nilai. Ketika fiksi populer menyajikan pengalaman kemanusiaan, maka fiksi serius juga bermaksud menyajikan pengalaman kemanusiaan melalui fakta-fakta, tema-tema, dan sarana-sarana cerita. Namun fiksi serius berada dalam tingkatan yang berbeda, yakni lebih jauh terhadap nilai-nilai universal yang mampu menembus batas jarak kelaliman zaman dan waktu.

Di sini penulis tidak bermaksud menafikan keberadaan fiksi yang bercerita tentang kekonyolan ini, justru ingin menggeliat ke arah yang lebih lapang, karena pada hakikatnya keberadaan fiksi bergenre tersebut saat ini menjadi penting ketika dekade 2004-2009 adalah masa-masa sulit bagi masyarakat negeri yang telah ditimpa berbagai macam bencana dan kesulitan-kesulitan.

Tentu masih terngiang di benak kita betapa pedihnya bencana Tsunami Aceh dan Medan pada 2004 silam, kemudian disusul gempa yang mengguncang Manokwari dan Bantul (Djogyakarta) pada 2006, banjir, angin puting beliung, jebolnya tanggul Situ Gintung, kecelakaan pesawat dan banyak lagi problem lainnya. Semuanya itu telah menelan ratusan ribu, bahkan jutaan nyawa rakyat Indonesia yang tak berdosa.

Tak hanya itu, dampak krisis moneter 1997 telah berimbas lagi pada krisis keuangan global yang terus menggoyang pondasi negeri kita saat ini adalah menjadi pemicum stres yang cukup besar bagi penduduk Indonesi, khususnya remaja yang sedang menjalani kehidupan serba labil.

Alhasil bunuh diri adalah menjadi jalan keluar yang sering dipilih oleh banyak remaja dan orang-orang dewasa. Kasus bunuh diri di kalangan remaja berdasarkan data resmi di Kepolisian Daerah Metro Jaya selama 2003 tercatat 62 kasus bunuh diri. Jumlah ini merupakan kelipatan tiga kali lebih banyak daripada angka tahun 2002. Usia pelaku bunuh diri tidak main-main, ada yang masih belasan tahun.

Kemudian berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia atau lebih dikenal World Health Organization (WHO) yang dihimpun tahun 2005-2007 sedikitnya 50 ribu orang Indonesia meninggal karena bunuh diri. Jumlah kematian itu belum termasuk kematian akibat overdosis obat terlarang yang mencapai 50 ribu orang setiap tahunnya.

Di Jepang fenomena bunuh diri remaja sangat besar. Demikian juga di Indonesia, sekitar tahun 2006-2007 kemarin adalah masa keemasaan bunuh diri. Tingginya angka bunuh diri di Indonesia mendekati negara pemegang rekor dunia seperti Jepang mencapai lebih dari 30 ribu orang per tahun dan China yang mencapai 250 ribu orang per tahun.

Semua kasus bunuh diri tersebut dilandasi pada mood atau suasana hati seseorang yang tidak stabil, dan remaja sangat rentan pada posisi ini. Faktor psikologis yang mendorong bunuh diri adalah kurangnya dukungan sosial dari masyarakat sekitar, kemiskinan, huru-hara yang menyebabkan trauma psikologis, dan bencana dan konflik berat yang memaksa banyak remaja meminggirkan diri ke tempat yang terasingkan.

Ketika kita hubungkan dengan fenomena merebaknya genre fiksi konyol yang menghibur ini, maka buku ini sangat tepat hidup di tengah-tengah masyarakat kita yang memang sedang mengalami kegelisahan yang cukup berat. Entah itu berlatar belakang kegelisahan ini atau hanya sekedar sebuah skenario pasar, namun inilah sedikit banyak jawaban atas fenomena merebaknya bacaan hiburan remaja di tanah air.

Tak bisa dipungkiri dengan adanya fiksi Konyol ini setidaknya sedikit mengurangi angka kematian akibat bunuh diri terhadap remaja-remaja di tanah air. Karena fiksi jenis ini berfokus pada ranah hiburan, untuk menghibur, bukan untuk menyampaikan pesan-pesan estetika yang mendayu-dayu sehingga membuat pembaca remaja menjadi bingung. Karena remaja Indonesi saat ini butuh hal-hal yang unik untuk menghilangkan rasa traumatik yang begitu peka terhadap dunia informasi yang semakin tak bersahabat.

Seperti contoh dalam novel ‘The Kolor of My Life’ yang merupakan pemenang satu pada sayembara menulis cerita konyol remaja 2008. Novel ini menawarkan keintiman seorang remaja terhadap satu-satunya kolor batik kawung bututnya. Sangking percayanya terhadap kekuatan batik kawung, ia menganggap bahwa kolor itu adalah nyawa keduanya, yang selalu memberikan keberuntungan. Tanpa kolor itu hidupnya terasa hambar, seperti hidangan enak tanpa garam. Dan gara-gara kolor itu pula hidupnya jadi berantakan, dituduh mengintip seorang kakek yang sedang mandi, tidak diberi uang jajan.

Demikian juga dalam kambing Jantan Raditya Dika yang penulis kutip sepenggal ceritanya dari dunia ebook beberapa waktu lalu, seperti berikut:

Esok paginya, ternyata jerawat gw makin banyak!!!! Tidakkkk? Rupanya ada yang infeksi gitu soalnya si tukang salon salah ngasih obat? Nyokap gw langsung panik, mulai saat itu dia tiap malem bersiin muka gw pake lation ama toner pembersih. Ajaibnya setiap kali dibersiin ama dia, paginya pasti jerawat gw berkurang banyak sekali!!!!

Selidik punya selidik, gw bertanya kepada sang mama?

Gw: Ma, kok jerawatnya ilangnya kok cepet banget sih? Lationnya bagus ya?
Nyokap: Wahhh? Rahasianya bukan dikrim ato tonernya, kung?
Gw: Trus?
Nyokap: Rahasianya tuh pada kain yang mama pake buat bersiin muka kamu!

Pas gw ngeliatin tuh kain ternyata bentuknya segi tiga, ternyata ada karetnya di bagian atas? Ternyata? Itu adalah kolor bokap gw!!!!!!! TIDAAAAAKKK? Jadi selama ini nyokap gw menjamah dan mengusap muka gw pake kolornya bokap? Huhuhuu? Nasip? Tapi manjur lho!


Peran Pasar dalam Menciptakan Tren Konyol

Dari aspek estetika kesusastraan, memang teenlit jenis ini lebih mudah diterima masyarakat karena gaya bahasanya yang lentur dengan tutur yang ringan, mengangkat hal-hal yang sepele, namun menghibur dengan teknik penceritaan yang mengalir seperti buku harian. Secara emosional jelas ini akan membangkitkan keterlibatan pembacanya yang notabene dari kalangan remaja, sehingga mereka enggan berpindah ke buku lain jika belum menyelesaikan cerita yang satu ini.

Di sinilah kaum kapitalis berperan membetuk selera pembaca hingga memproduksi puluhan judul cerita konyol dalam satu bulan, karena teenlit jenis ini ternyata lebih menguntungkan dibanding mencetak buku-buku lain. Dengan ongkos produksi yang minimal, keuntungan yang mereka peroleh sangat maksimal. Akhirnya genre tersebut menjadi tren yang cukup melambung saat ini.

Hal ini bisa kita lihat dari penerbit Gradien Mediatama yang masih satu kelompok dengan Gagas menerbitkan buku cerita konyol. Penerbit yang bermarkas di Yogyakarta ini pun berburu mencari penulis di blog dan akhirnya menemukan Yenny Lesly, yang isi blognya disaring kemudian diterbitkan menjadi buku Gokilmom: Diari Seorang Mami Dodol dengan label “buku gokil”. Setelah itu Gradien menerbitkan Anak Kos Dodol, Catatan Mahasiswa Gokil von Djokja yang dikarang Dewi Rieka Kustiantari. Buku ini dalam waktu dua bulan sudah masuk cetakan ketiga.

Beranjak ke penerbit lain seperti Gramedia Pustaka Utama (GPU) juga menangkap tren ini. Mereka menerbitkan dua judul buku gokil, yakni Jakarta Underkompor, Sebuah Memoar Garing yang ditulis Arham Rasyid alias Arham Kendari dan Ocehan Si Mbot: Gilanya Orang Kantoran karya Agung Nugroho. Dan pada 2008 lalu GPU sengaja mengadakan sayembara menulis cerita remaja konyol di tingkat nasional.

Demikianlah penerbit berlomba-lomba untuk menguasai pasar, namun karena isinya ringan dan renyah, banyak penulis-penulis ternama menyebutkan bahwa buku-buku jenis ini tidak bermutu dan mengesampingkan nilai-nilai moralitas. Namun kelompok penerbitan banyak menolak jika dikatakan buku ini tak mendidik pembacanya. Karena Mereka beralasan bahwa buku-buku ini memang sengaja dikemas ringan untuk menarik perhatian dengan harapan nantinya minat baca remaja akan tumbuh dan perlahan beranjak ke bacaan lebih serius.

Berdalih jujur atau tidak alasan itu, setidaknya cerita-cerita konyol ini memang harus memiliki batasan-batasan moral dan adat istiadat keindonesiaan, sehingga tidak menyesatkan pembaca. Materi yang kasar, menyinggung perasaan sekelompok orang, atau pornografi yang berujung pada pelanggaran terhadap UU APP adalah beberapa hal yang patut dijadikan pegangan dalam produksi.

Namun, semuanya kita kembalikan kepada otak produksi pasar yang notabene sangat kecil perhatiannya terhadap nilai-nilai dan aturan-aturan kemasyarakatan itu, karena kita sudah memasuki era globalisasi yang berarti kemenangan adalah milik kaum yang berkuasa. Sehingga pasar menentukan masyarakat, mengendalikan masyarakat dan membentuk selera masyarakat. Dan kita sebagai masyarakat dituntut untuk memilih produk-pruduk yang mereka tawarkan.

Apadapun remaja adalah menjadi sasaran empuk pruduksi perbukuan saat ini, karena budaya mereka adalah budaya selera yang sangat mudah dibentuk oleh pasar. Lagi lagi produksi diharapkan jangan sampai membunuh karakter-karakter mereka dan rasa keindonesiaan mereka yang semakin rapuh. Dalam produksi jangan hanya asal jadi untuk mengejar dealine, namun pada akhirnya bukan menghibur pembaca, malah menjadikan pembaca sebagai sasaran empuk salah satu misi yang tidak bersahabat dan menguntungkan salah satu pihak.

Akhirnya pasar akan terus menabung dan menghimpun keuntungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat pembaca dan remaja sebagai personal harus tangguh dalam menyikapi hegemoni ini. Karena selera boleh mengikuti zaman, supaya kita tidak dianggap cupu atau kuper, namun identitas yang berasas nilai-nilai dan asumsi itu sangat perlu ditanamkan oleh kita sedini mungkin.

Di sinilah kita perlu menanamkan ideologi untuk mempertahankan identitas diri melalui nilai-nilai agama, budaya, dan adat keindonesiaan kita, sehingga kita mampu menepis segala hal-hal negatif yang ditawarkan oleh pasar kapitalis yang terus bergerak maju semakin mengglobal hingga melenceng dari tatanan norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai keindonesiaan kita yang semakin genting.


Penutup

Demikian pemaparan singkat tentang Fenomena Fiksi Konyol yang bermula dari kedatangan seorang pemuda berkacamata bernama Raditya Dika dengan “Kambing Jantan” nya yang khas. Tak bisa dipungkiri fiksi jenis ini hadir di saat yang tepat ketika remaja tanah air membutuhkan penyegaran. Penyegaran yang tidak hanya bersifat menghibur, tapi lebih dari itu untuk tujuan yang besar menyangkut pengendalian diri remaja yang konon semakin dinamis dan tak terkendali dalam fenomena bunuh diri di Indonesi. Walau perangkap kapitalis cukup menggurita, setidaknya batasan-batasan itu harus ada, dan fenomena ini cukup lugas untuk menciptakan generasi yang kreatif yang menambah khazanah pernovelan tanah air menjadi beragam dan penuh warna.


Daftar Bacaan

Nurgiantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada, 2005 University Press

Stanton, Robert. Teori Fiksi, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2007

Wellek, Rene dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Jakarta: PT Gramedia, 1989

http://www.VHRmedia.com/Jakarta/TriWibowoSantoso/16:56 WIB/8Oktober 2007/

http://www.duniaebook.web.id/index.php/cerita-fiksi-dan-novel/73-ebook-kambing-jantan-novel/18:51/30 Mei 2009/

Koran Tempo, 17 Mei 2009

1 komentar:

Agung Nugroho mengatakan...

koreksi dikit, "ocehan si mbot" itu non fiksi lho...