21 Juli 2009

DRAMA PANJANG NEGERI SERUMPUN


Judul Buku : GANYANG MALAYSIA!Penulis : Efantino F & Arifin SN
Penerbit : Bio Pustaka
Cetakan : 1, 2009
Tebal : 200 halaman
Harga : Rp 30.000,-



Resensi

Oleh : Almuttaqin/qin mahdy

Koran Jakarta, 21 Juli 2009

“Kalau Malaysia mau konfrontasi ekonomi, kita hadapi dengan konfrontasi ekonomi, Kalau Malaysia mau konfrontasi politik, Kita hadapi dengan konfrontasi politik, Kalau Malaysia mau konfrontasi militer, Kita hadapi dengan konfrontasi militer!!”

 Kutipan isi pidato presiden Soekarno yang begitu bersemangat inilah yang akan menyambut kita ketika hendak membuka lembar demi lembar halaman buku yang berjudul Ganyang Malaysia! yang ditulis oleh Efantino F dan Arifin SN ini. Sebuah buku refleksi yang cukup menggugah, sekaligus miris, menguraikan banyak dinamika hubungan antara Indonesia dan Malaysia sejak masa konfrontasi era 1960-an hingga konflik Ambalat yang belakangan ini kembali memanas.
 Jika kembali menengok sejarah masa lalu, kedua negara ini telah disatukan dalam bingkai kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Layaknya saudara kandung, mereka saling tegur sapa dalam satu bahasa yakni bahasa Melayu. Mereka saling suap-suapan dengan makanan pokok dari kebun yang sama, demikian juga sering bertukar pikiran dalam hal memajukan pendidikan bersama. Warna kulit dan postur tubuh pun mengindikasikan bahwa kedua negara ini benar-benar berasal dari satu induk yakni Melayu.
Bahkan suatu ketika pernah tercetus oleh kedua pemimpin negeri ini untuk menyatukan Indonesia dan Malaysia, namun kedatangan Eropa membuat situasi ini menjadi berbalik, Indonesia memisahkan diri karena dijajah oleh Belanda, sedangkan Malaysia menyembunyikan diri pula akibat dijajah oleh Inggris. Ini adalah titik awal yang menandakan perpecahan antara kedua negara tersebut.
 Namun, konflik yang sesungguhnya terjadi pada tanggal 16 september 1963, ketika Tengku Abdurrahman mengumumkan pembentukan Federasi Malaysia, yaitu meliputi tanah Melayu, Singapura, Sabah dan Sarawak. Oleh Soekarno keputusan itu ditolak karena dianggap merupakan proyek neokolib dari Inggris. Hingga pada waktu itu ia memutuskan diplomasi dengan Malaysia.
Keputusan presiden Soekarno itu ternyata berbuah aksi demontrasi besar-besaran yang menyerbu KBRI di Kuala Lumpur. Mereka menghina, mencaci-maki dan merobek-robek foto presiden Soekarno, termasuk Tengku Abdurrahman pada waktu itu menginjak-injak lambang kesatuan negara Indonesia.
Tak sudi dengan penghinaan tersebut akhirnya Bung Karno meneriakkan "Ganyang Malaysia!" dihadapan ribuan masyarakat yang hadir pada waktu itu sebagai bukti perlawan keras terhadap Malaysia. Ganyang Malaysia itu dilakukan bukan tanpa dasar, alasan yang paling utama adalah untuk mempertahankan harkat, martabat dan harga diri bangsa dan negara Indonesia yang telah dilecehkan. Itu adalah keputusan tepat.
Dan akhir-akhir ini konfrontasi serupa kembali memanas. Bahkan menyebar ke wilayah-wilayah lain seperti penganiayaan terhadap banyak pekerja Indonesia di Malaysia, pencurian aset budaya, dan yang paling menyesakkan dada ialah lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari genggaman tanah air Indonesia beberap tahun lalu tanpa meninggalkan jejak-jejak perlawan yang keras seperti yang dilakukan oleh presiden Soekarno pada 46 tahun silam.
Demikianlah, buku ini layak untuk dijadikan bahan renungan untuk kita semua, terutama bagi pemimpin Indonesia yang baru terpilih. Kita harus berani menunjukkan sikap kepada Malaysia terhadap semua konfrontasi yang mereka lakukan dalam segala lini, terutama terhadap provokasi yang sering dilakukan oleh TLDM terhadap Blok Ambalat. Karena Indonesia bukanlah boneka dalam sebuah game, yang tidak bisa berbuat banyak untuk keutuhan negerinya. Indonesia adalah negeri yang besar sekaligus kuat. Dan bila perlu Ganyang Malaysia kedua wajib untuk dikumandangkan.


Tidak ada komentar: