19 Agustus 2011

MENGUNGKAP LEGENDA TABU MASYARAKAT ACEH


Judul Buku : Putroe Neng
Penulis : Ayi Jufridar
Penerbit : Grasindo
Tahun Terbit : 2011
Jumlah Halaman : 384
Harga : 59.500,-

Diambil dari penuturan Cut Hasan – seorang penjaga makam Putroe Neng yang terletak di desa Blang Pulo, Lhokseumawe – beberapa minggu lalu kepada salah satu media nasional, ia mengatakan bahwa legenda Putri Cina yang bersuamikan 100 bangsawan yang biasa disebut Putroe Neng sudah menjadi konsumsi masyarakat jauh sebelum abad 18 menjadi hitungan tahun peradaban dunia. Putroe Neng Hidup sekitar tahun 1020-an Masehi. Boleh dikatakan semua masyarakat Aceh sudah pernah mendengar kisah ini melalui penuturan orangtua mereka, bukan berdasarkan literatur tertulis yang mereka baca. Kisah ini miskin teks, lagipula memang tradisi lisan pada masa itu adalah yang paling unggul di kerajaan-kerajaan Melayu lama.

Sehingga sebagian besar masyarakat Aceh menyebutkan cerita Putroe Neng hanyalah sebuah legenda. Namun tak sedikit pula yang meyakini sejarah itu pernah terjadi. Senada Cut Hasan, ia menganggap Putroe Neng yang telah membunuh 99 suaminya itu bukan sekadar legenda, melainkan ini sejarah berbentuk lisan yang memuat tentang peristiwa yang benar-benar pernah terjadi. Buktinya Cut Hasan pada suatu malam pernah bermimpi didatangi seorang perempuan yang cantik, ia mengatakan itu wujud Putroe Neng. Lalu perempuan itu memberikannya dua keping emas untuk dijaga. Keanehan terjadi ketika ia bangun, ia melihat dua keping emas itu ada di sampingnya.

Legenda yang kini kembali diangkat dan diperbincangkan kebenarannya di tengah publik ini rupanya dimanfaatkan oleh Ayi Jufridar sebagai wujud teks atau semacam arca melalui novel berjudul “Putroe Neng.” Entah ada misi apa yang terselubung di balik narasinya, novel ini merupakan sepenggal kisah tentang Putroe Neng saat mulai memasuki wilayah Aceh bersama ribuan Prajurit perempuan Cina pada masa Kerajaan Indra Purba berkuasa di tanah Aceh pada tahun 1024. Kehadiran mereka di anggap remeh oleh pihak Kerajaan Indra Purba dan inilah yang membuat prajurit perempuan Cina tersebut berhasil mengalahkan Kerajaan Indra Purba di dalam peperangan. Mereka mengawali sejarah berdirinya Kerajaan Seudu.

Nian Nio Lian Khie begitulah nama asli Putroe Neng disebut. Ia dikenal sebagai komandan perang wanita berpangkat Jenderal Kerajaan Seudu yang pada suatu ketika dikalahkan dalam peperangan di Kuta Lingke. Peperangan itulah yang mengubah sejarah hidup Putroe Neng dari seorang maharani yang memiliki misi ingin menyatukan sejumlah kerajaan di Pulau Ruja (Sumatera), ia malah menjadi permaisuri dalam sebuah pernikahan politis. Pendiri Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam, Sultan Meurah Johan, menjadi suami pertama Putroe Neng yang kemudian juga menjadi lelaki pertama yang meninggal di malam pertama. Tubuh Sultan Meurah Johan ditemukan membiru setelah melewati percintaan malam pertama yang selesai dalam waktu begitu cepat.

Dalam novel ini dikisahkan Putroe Neng memiliki 100 suami dari kalangan bangsawan Aceh. Dan setiap suami meninggal pada malam pertama ketika mereka bercinta, karena alat kewanitaan Putroe Neng mengandung racun. Namun, anehnya kematian demi kematian tidak menyurutkan niat para lelaki terutama kaum bangsawan untuk memperistri perempuan cantik itu. Karena menikahi Putroe Neng yang cantik jelita merupakan sebuah kebanggaan bagi banyak lelaki bangsawan. Kebanggaan itu sering dilampiaskan dalam kalimat, “Nanti malam aku akan tidur dengan Putroe Neng...”.

Suami terakhir Putroe Neng adalah Syekh Syiah Hudam. Ia adalah suami ke-100 dari perempuan cantik bermata sipit tersebut. Sebelum bercinta dengan Putroe Neng, Syiah Hudam berhasil mengeluarkan bisa dari alat genital Putroe Neng. selamat melewati malam pertama dan malam-malam berikutnya. Konon, Syiah Hudam memiliki mantra penawar racun sehingga ia bisa selamat.

Ringkasnya dengan judul yang begitu provokatif, novel yang bergenre sejarah ini menarik untuk dibaca oleh semua kalangan, karena disamping mampu memperkaya budaya dan sejarah peradaban bangsa, melalui pemakaian bahasanya yang khas akan imaji dan kultur-kultur sejarah Aceh, kita seperti tengah dibawa untuk menonton sebuah film petualangan Narnia atau The Lord of The Ring.

Buku ini berhasil membahas kisah Putroe Neng secara detail. Ketangguhan armada perang dan keahliannya dalam menaklukan samudra sungguh dijabarkan seperti dalam peperangan Pirates of the Caribbean. Tak kalah menarik ialah ketangguhan strategi bercinta antara negeri Aceh dan daratan Cina. Penulis berhasil mengisahkan penggalan-penggalan sejarah Putroe Neng dengan begitu mengalir dan menyentuh ruang imajiner generasi muda Aceh, khususnya soal ketangguhan perempuan dan jiwa kepahlawanan, soal cinta dan naluri budaya-kebangsaan.

Tidak ada komentar: