SEBAGIAN masyarakat Indonesia sudah kenal dengan
Siti, gadis kecil berusia 7 tahun, tinggal di Cihara, Lebak, Banten Selatan.
Ayahnya sudah lama meninggal. Ia kini hidup bersama ibunya yang sehari-hari
bekerja sebagai buruh tani dengan upah minim. Siapa sangka gadis sekecil itu
punya perasaan iba terhadap ibunya yang bekerja banting tulang setiap hari,
tenaga terkuras, namun upah yang diperoleh tak mencukupi kebutuhan sehari-hari?
Siti kecil kemudian rela mengorbankan waktu bermainnya
untuk menjadi pedagang bakso. Ia menjajakannya keliling kampung setelah jadwal
sekolah usai. Alasannya cuma satu, ingin membantu ibunya mencukupi kebutuhan
keluarga.
Tangan kanannya menenteng termos berisi kuah
bakso, sementara tangan kirinya menenteng ember berisi mangkuk dan perlengkapan
makan lainnya. Dengan terseok-seok ia menenteng beban seberat itu menyusuri
jalan berbukit setiap hari. Bila ada pembeli, ia berhenti. Siti akan meracik
baksonya. Setelah empat jam berkeliling, ia mendapat upah 2.000 perak saja.
Kalau baksonya tak habis, upahnya hanya Rp1.000.
Banyak orang merasa iba melihat perjuangan Siti.
Sebuah ironi masa kini, menakjubkan, sekaligus menginspirasi! Karena di usianya
yang belum matang, di tengah keterbatasan ekonomi, Siti sudah melangkah lebih
jauh melebihi teman-teman sebayanya yang baru memikirkan soal tambahan uang
jajan dan baju baru dari orang tuanya.
Cermin Etos Bangsa
Berita tentang Siti si “Penjual Bakso"
sempat membuat gempar masyarakat di Tanah Air. Lebih-lebih mereka yang aktif di
situs-situs jejaring sosial seperti facebook, twitter, kaskus dan kompasiana.
Ada yang takjub, miris dan ada pula yang mengkritisi dengan alasan eksploitasi
terhadap anak di bawah umur. Apa pun respons orang, yang paling penting: di
usianya yang ke-7 Siti sudah memberikan gambaran dari keseluruhan etos bangsa,
yaitu semangat menuju kemandirian ekonomi.
Kemandirian sudah lama menjadi ruh ketika
perjuangan kemerdekaan mulai digerakkan jauh sebelum 1945. Bedanya, bukan Siti
yang menggerakkan mereka. Pada 1923, misalnya, Perhimpunan Indonesia (PI) sudah
mengeluarkan pernyataan bahwa setiap orang Indonesia harus berusaha
sungguh-sungguh untuk mencapai kemandirian.
Tidak hanya kalangan intelektual atau pelajar,
perjuangan menuju kemandirian bangsa juga diperjuangkan oleh pengusaha yang
nasionalismenya tinggi. Mereka mengidam-idamkan ekonomi Nusantara bisa mandiri.
Sebut saja Syarikat Dagang Islam (SDI) di Solo yang didirikan Haji Samanhudi
dan kawan-kawan. Mereka berusaha mempersatukan pedagang batik dan meningkatkan
derajat pengusaha lokal di tengah hegemoni kolonial.
Serba Lengkap
Dilihat dari Sumber Daya Manusia (SDM), Indonesia
sudah punya banyak orang andal lebih dari 3.000 ilmuwan. Beberapa ratus di
antaranya adalah pakar ekonomi. Seperti sudah dijelaskan, ketika mereka ini
disinergikan untuk membangun ekonomi bangsa, sebuah perubahan yang tidak
mustahil bagi Indonesia menjadi emerging economy country 10-20 tahun
mendatang.
Selain itu, Indonesia adalah pasar besar keempat
setelah China, India dan Amerika. Indonesia punya penduduk lebih dari 240 juta
jiwa. Lagi-lagi satu hal yang tidak mustahil bila produktivitas daya beli
masyarakat sebanyak itu akan memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan nasional.
Peluang dan modal untuk menjadi negara adidaya
itu sudah dikantongi oleh Indonesia, karena Indonesia punya semuanya. Sumber
daya alam tidak usah dijabarkan, karena Indonesia adalah satu-satunya negeri
tersubur yang dilalui garis khatulistiwa. Indonesia adalah lumbung sumber daya
nabati.
Dalam hal sumber daya energi, Indonesia punya
energi yang melimpah dan beraneka. Mulai dari minyak bumi, gas alam, batubara,
hingga berbagai sumber energi alternatif. Dengan energi fosilnya saja, Indonesia
sudah mampu menghasilkan 6 juta barel oil per hari. Belum lagi potensi energi
nonfosil Indonesia seperti panas bumi senilai 27 GW yang mencakup 40 persen
potensi panas bumi dunia serta potensi tenaga air yang setara 75 GW.
Indonesia juga berpotensi besar menjadi salah
satu pusat Bahan Bakar Nabati (BBN) dunia, karena memiliki biodiversitas
organik yang tinggi. Tatang H Soerawidjaja, peneliti Institut Teknologi Bandung
(ITB) pernah mengatakan, Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya, ditambah
Brazil, dapat diibaratkan dengan Timur Tengah-nya BBN.
Apalagi kecenderungan masyarakat dunia beralih ke
pemanfaatan bioenergy telah membuat dunia bertransisi dari
perekonomian berbasis fosil (fossil-based economy) di abad 20, ke arah
perekonomian berbasis nabati (bio-based economy). Indonesia memiliki
keanekaragaman hayati yang dahsyat dan lahan potensial yang relatif luas
memungkinkan Indonesia bisa menjadi salah satu bio-based economy
dunia.
Saat ini Indonesia memang belum cocok
disandingkan dengan Singapura dan China. Namun Indonesia perlahan mulai
memperlihatkan produktivitasnya di kancah dunia, terutama dalam dunia ekonomi
pangan. Sebagai negara yang penduduknya mayoritas Muslim tentu Indonesia
memiliki keanekaragaman makanan dan minuman halal yang bila ditangani
profesional, tidak saja memiliki pasar di dalam negeri, tetapi juga pasar
ekspor.
Bahkan, tidak tertutup kemungkinan Indonesia
menjadi pusat produk halal dunia asalkan didukung produk yang berkualitas,
bercita rasa sesuai selera pasar, serta kemasan menarik dan juga memiliki harga
yang kompetitif. Industri fashion Muslim pun demikian. Sekarang model
dan konten-konten yang dibuat Indonesia menjadi daya tarik luar biasa bagi
industri mode di dunia. Beberapa tahun ke depan dijamin Indonesia akan menjadi pusat
mode Muslim dunia.
Teknologi informasi dan internet pun tak kalah.
Arnold Sebastian Egg, founder sekaligus pimpinan Tokobagus.com
menyebutkan Indonesia akan menjadi pusat bisnis dunia, terutama bisnis online,
khususnya e-commerce. Pernyataan Arnold Sebastian Egg tersebut tidak
lepas dari posisi Indonesia yang menempati peringkat kelima sebagai negara
dengan pengakses internet terbesar dunia, setelah China, India, Brazil dan
Belanda.
Apalagi belakangan ini pemuda Indonesia sudah
semakin kreatif, mereka mulai melirik dunia entrepreneur atau
wirausaha seperti yang apa yang diupayakan oleh Siti. Namun hal ini harus
ditopang penuh oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan yang rasional,
obyektif, dan tidak memberatkan mereka sebagai pengusaha.
http://www.jurnas.com/halaman/6/2012-11-27/227649