![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiA5FSXGQ-LebesvZfEaX5bjh5TYI06wgd8RFCqfRbf2qgvzJm_Gz9YmffNH8e67r1baBYRnt8M14FQ4SGiwea2pjdtIsRcVaFTlZwPNCXJYiwIYmwiUx47EhQFjBO8hHfwRcuPQ-ev_WE/s400/2259939990_61093d9c36.jpg)
Untuk Butet Manurung, Guru Anak-anak Rimba Jambi
Cerpen Oleh Qin Mahdy
Tak ada hutan bakau di sini. Apalagi rempah-rempah. Karena ini bukan tanah pantai, bukan pula humus Amazon di negeri yang jauh. Ini adalah lembah kami, lembah yang hijau, hijau yang hutan, hutan yang rimba, rimba yang sangat beradab. Di sini ada banyak batang jati dan meranti yang sudah besar dan rimbun. Dahan-dahannya yang kekar, tinggi dan merambat, mampu menutupi cahaya sinar matahari saat siang ingin menyentuh bumi. Sejuk. Di sisi kanan-kiri tumbuh rerumputan kecil yang membentangkan panorama hijau seluruh bumi. Hanya garis-garis jalan yang terlihat agak berwarna kecoklatan, berkelok-kelok menyusuri gubuk-gubuk kecil yang berdiri asri di antara dua pohon beringin besar. Pohon beringin itu masih menjadi primadona di hutan ini sejak ratusan tahun lalu, terutama bagi burung-burung kecil. Saban hari buahnya selalu menarik perhatian mereka. Banyak sekali burung berkumpul di sana, pagi, siang, atau sore. Mereka berpesta, sambil menyanyikan lagu alam, alam yang telah membebaskan mereka hidup.
Tak jauh dari gubuk itu, di penghabisan pohon meranti ke-sembilan, di sana mengalir sebuah sungai kecil yang bening diapit oleh bukit-bukit kecil yang menyembul. Inilah barangkali yang membuat daerah kami dinamakan Bukit Dua Belas. Terletak di tanah Jambi. Walau jumlah sembulannya kurang dari dua belas, paling tidak nama itu sudah mashur hingga ke negeri luar seperti Palembang, Jawa, bahkan Belanda dan Inggris juga sudah tahu. Jadi tak perlu merisaukan namanya. Apalagi bagi kami orang-orang rimba yang dikenal,
Bertubuh onggok
Berpisang cangko
Beratap tikai
Berdinding baner
Melemak buah betatal
Minum air dari bonggol kayu
Berkambing kijang
Berkerbau tenu dan bersapi ruso.
Kami senang hidup di sini. Di sini ada Induk[1], ada pula Tumenggung, Depati, Menti, Mangku, Para Anak Dalam, Debalang Batin dan para Tengganai. Mereka semua para ksatria pemberani dan memiliki kekuatan hebat. Di suku kami Tumanggung ibarat raja. Tak ada yang berani melanggar titahnya. Bahkan bila ia mengajak kami berperang atau untuk meninggalkan hutan ini, kami semua harus siap. Tak peduli siang atau malam, karena adat adalah kuasa, akan memberikan kebaikan bagi yang menjalankannya.
Namaku Liman. Usiaku 14 tahun. Cuma aku lebih suka dipanggil “Li”, bukan “Man”. Man itu panggilan yang jelek. Sedangkan Li nama yang bagus. Mengingatkanku keistimewaan Ibu Guru Butet. Dia yang pertama kali memanggil aku Li. Awalnya Ibu Guru menceritakan tentang kehebatan silat Jetli dari negeri Jepang. Lalu aku mencoba membayangkan gerakan-gerakannya, terus mencoba, menggerakkan tangan dan kaki, dan akhirnya aku benar-benar menjadi bisa melakukan silat seperti Jetli. Haitt! Dan mulai hari itu aku sering dipanggil Jetli oleh Ibu Guru dan semua kawan-kawan. Aku senang. Ilmu silat itu pun kini sudah aku turunkan kepada adik-adik dan kawan-kawanku, biar mereka bisa membela diri dari serangan musuh tanpa susah payah harus memikul tombak. Haitt!
Ibu Guru memang hebat, walaupun dia orang terang[2], namun budi-bahasanya baik, lakunya juga baik. Sudah hampir 5 tahun dia bersama kami di sini, namun dia tidak pernah mengolok-olok kami walau kami memiliki rambut yang berbeda, agak keriting. Punya telapak kaki tebal dan gigi berwarna kecoklatan karena suka merokok dan sering makan sirih. Malas mandi dan tidak berpakaian, cuma kain cawat untuk menutupi kemaluan kami. Dia juga tidak pernah mencelakai kami walau kami sering nakal kepadanya. Bahkan dia rela meninggalkan kehidupannya di kota cuma untuk hidup bersama kami di hutan ini. Padahal di kota konon banyak sekali rumah-rumah bagus, pakaian indah-indah dan makanan enak-enak. Dia malah mau berteman nyamuk-nyamuk hutan di sini. Ikut memakan tikus, menggali tanah, menanam umbi, mengasuh adik, dan memanggul damar sampai ke dusun tauke[3].
Ibu Guru juga punya banyak sekali ilmu. Aku salut padanya. Bahkan ilmu membaca, menulis dan berhitung, dialah ahlinya. Ketika belajar bersamanya, aku selalu menggeleng-gelengkan kepala sebanyak 9 kali karena takjub. Itu bukan karena kebodohanku. Tak ada yang seperti dia di dunia ini. Hatinya baik, santun pekertinya, besar jiwanya. Kalau saja nanti dia pergi untuk selama-lamanya dari sini, Jetli tentu sedih dan akan menangis paling kencang. Adikku mungkin juga begitu.
Besok, waktunya Ibu Guru pulang ke kampungnya ke kota. Cuma sebentar. Orangtua dan anak-anaknya di sana sudah rindu. Aku juga ikut senang, karena aku dan Limun adikku diajak ikut bersamanya ke kota. Kota impian semua orang. Aku sampai tidak bisa tidur memikirkannya. Ketika menangkap ikan di sungai, bermain di rumput dan bercanda dengan kawan-kawan di atas pohon.
“Oh Jakarta. Macam mano kota itu, yo. Aku dan Limun dibuatnyo penasaran!”
“Jetli! Limun! Apakah kalian sudah bereskan barang2 kalian?” Suara Ibu Guru tiba-tiba mengagetkan lamunanku.
*****
1999. Usiaku saat itu baru 7 tahun. Suatu siang yang terang tiba-tiba berubah menjadi gelap. Kami diributkan oleh seorang perempuan dan dua lelaki yang mencoba menyelinap masuk ke daerah kami melalui muara pintu Selatan Bukit Dua Belas. Mereka berpakaian lengkap layaknya orang terang.
Berpinang gayur
Berumah tanggo
Berdusun beralaman
Beternak angso.
Mereka membawa buntilan yang cukup besar. Ini ancaman bagi kami selain serangan binatang-binatang liar. Kami merasa terganggu. Selama ini orang terang dikenal sangat berani masuk ke wilayah kami. Karena wilayah kami hutannya masih sangat asri. Ada banyak sekali pohon-pohon besar di sini. Mereka menginginkan itu untuk dijadikan balok, lalu dikirim ke kota untuk dijual dengan harga yang sangat tinggi. Kami semua yakin ketiga orang terang itu punya niat jahat mendatangi daerah kami. Apalagi satu perempuan berkawan dua lelaki. Itu satu hal yang tidak benar menurut adat kami. Mereka telah mengganggu ketenangan kami.
Untung ada Tumanggung, Depati, Mangku dan para Anak-anak Dalam. Tumanggung langsung marah besar. Perempuan dan tiga lelaki itu tampak ingin bercakap-cakap dengannya, namun tanpa basa-basi Tumanggung langsung mengusir ketiganya dari daerah kami. Sebagai kepala suku ia memang benar, kami tidak boleh langsung percaya terhadap orang-orang asing yang datang. Karena mereka semua punya niat jahat ingin mencuri hutan. Hutan tempat kami hidup. Bila mereka punya niat lain yaitu berburu binatang liar. Kami tidak sudi binatang-binatang kami punah, karena alam memiliki titah, alam punya ekosistem, bila satu ada yang punah, maka itu artinya kelak akan terjadi bencana besar menimpak kami. Tumanggung dan para Anak Dalam adalah ksatria kami, mereka ada yang mengerti bahasa orang terang, tahu saat-saat orang ingin berbuat jahat. Kejadian kali ini adalah satu bukti kami memang harus selalu waspada terhadap tindak kejahatan yang datang saat-saat tidak terduga.
Tak beberapa lama setelah kejadian, tiba-tiba perempuan itu datang lagi. Namun kali ini dia tidak dengan teman-temannya. Ia sendirian. Ia mencoba masuk ke wilayah kami dengan sopan, tersenyum, dan mengangkat kedua tangannya.
“Saya orang baik-baik. Saya ingin bersahabat dengan kalian. Saya sedang membutuhkan makanan.”
Perempuan itu medekat ke arah kami. Tumanggung lagi-lagi berdiri sigap berada di posisi paling depan. Keduanya lalu bercakap-cakap. Saat itu aku tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi hasilnya perempuan itu diizinkan untuk tinggal sementara bersama kami di hutan ini. Lalu ia dihidangkan makanan oleh Tumanggung. Barangkali ia sudah kehabisan makanan saat menyusuri hutan kami. Ia disuruh istirahat. Lalu ditemani Temanggung berjalan-jalan menyusuri sudut-sudut hutan kami.
Induk dan semua Ibu-ibu yang lain risau atas kedatangan perempuan itu. Ia telah mengganggu keharmonisan kehidupan kami orang-orang rimba. Kami semua takut kalau saat tidur nanti perempuan itu memanggil teman-temannya untuk membunuh kami. Orang terang dikenal punya senjata bedil yang sangat hebat. Bisa membunuh orang sekaligus dalam satu dentuman. Sungguh! Beberapa malam setelah kedatangan perempuan itu kami benar-benar dibuatnya tidak bisa mendengkur.
Saat pagi menjelang. Perempuan itu memilih ikut bersama kami pergi ke dusun untuk menjual damar. Ada Induk dan beberapa Anak Dalam ikut pergi. Namun, siang itu ia masih menggunakan pakaiannya yang lengkap. Melihat itu Induk memberikannya sebilah kain. Lalu dipakaikan pada perempuan itu. Ia tampak cantik dengan kain itu. Kami semua tersenyum. Setelah perbekalan siap, kami segera menyusuri bukit-bukit kecil, turunan, hutan berduri, melewati sungai, hingga sampai ke dusun yang kami tuju. Aku tidak tahu ini daerah apa namanya. Para Anak Dalam menyebutnya dusun terang. Wilayah yang memiliki rumah bagus-bagus, ada motor dan sekolah tempat belajar. Ada pasar juga tempat menjual berbagai macam makanan.
Sampailah ke sebuah tempat biasa kami menjual damar. Lalu damarnya ditimbang. Dan kami menerima beberapa lembar uang. Namun, tiba-tiba perempuan asing itu ribut dan berbicara dengan Induk.
“Induk, harga damar itu Rp 3000, bukan Rp 2000. Kita sudah ditipu. Kita rugi Rp 21.000.”
Induk tetap diam saja, tanpa mengeluarkan satu kata pun.
“Ini mesti kita tuntut, Induk!”
Induk terlihat masih tenang-tenang saja, demikian pula Anak Dalam. Mereka juga diam. Mereka segera berjalan pulang. Singgah di sebuah toko, berbelanja rokok, kopi, gula, beras dan kebutuhan lainnya. Sementara perempuan itu risaunya bukan main.
Sampai di pemukiman, perempuan itu menceritakan kejadian yang sudah dialami oleh rombongan saat menjual damar. Ia menjelaskan bahwa selama ini kami sering ditipu oleh pedagang saat menjual damar. Perempuan itu menyuruh kami harus bisa berhitung supaya tidak bisa ditipu. Sangat penting untuk mengerti berapa berat timbangan dan berapa jumlah uang yang mesti kami terima. Demikian penjelasannya.
Depati, Menti, Mangku, Para Anak Dalam, Debalang Batin dan para Tengganai tersentak mendengar penjelasan perempuan itu. Mereka berang. Tumanggung yang tak kalah berang. Orang terang selama ini memang menjadi musuh kami. Mereka sering menyebut kami orang-orang Kubu. Orang yang bodoh dan dungu. Tak pandai membaca dan berhitung. Akhirnya Tumanggung minta perempuan itu supaya diajarkan cara berhitung kepada seluruh masyarakat kami, tak terkecuali anak-anak. Mereka sampai rapat untuk meminta diajari. Namun, perempuan itu menyuruh kami sekolah di luar saja.
“Ah ndak suko sekolah di luar. Harus pake seragam.” Salah satu Anak Dalam di antara mereka berucap.
“Ndak suko jam 7 berangkat jam 12 balik. Aku mau yang seenak aku.” Yang lain menimpali.
“Hahaha.” Mendengar itu aku dan yang lain tertawa.
Perempaun itu berpikir keras. Tak berapa lama kemudian akhirnya ia mengiayakan ajakan Tumanggung dengan untuk mengajar kami dengan model pendidikan seenak kami. Sesuai dengan kemauan dan kebutuhan kami. Kapan kami ingin belajar dan kapan kami ingin bermain, kamilah yang mengatur, walau kemudian perempuan itu harus membuat semacam jadwal untuk bisa kami ikuti.
Belum sempat mengajarkan kami berhitung, perempuan itu sakit keras. Badannya panas sekali. Hampir satu minggu ia sakit. Sesuai dengan tradisi kami, orang sakit tidak perlu dirawat. Ia mesti ditinggalkan dari wilayah ini atau dibuang sebelum penyakitnya akan mendatangkan wabah bagi yang lain. Beberapa orang di antara kami sempat bertengkar karena berbeda pendapat. Karena sesuai adat, bila ada yang sakit harus ditinggalkan sendirian hingga ia sembuh sendiri dan mencari jalan pulang. Sedangkan perempuan itu punya janji untuk mengajarkan kami berhitung. Namun keputusan di tangan Tumanggung, akhirnya ia diobati dan tak lama kemudian sembuh. Kami pun senang lalu menagih janji minta diajarkan cara berhitung.
Awalnya kami mulai diajarkan cara membaca, menulis dan berhitung. Setelah kami mampu membaca, beberapa tahun kemudian kami diajarkan cara bertani dan bahkan konsep tentang peraturan perundang-undangan, khususnya UU HAM. Diajarkan membaca, menulis dan berhitung katanya agar kami tidak ditipu saat beinteraksi dengan orang-orang terang. Diajarkan bertani katanya agar kami mampu mengelola lahan jika hutan habis, dan undang-undang diajarkan agar kami mampu bertahan dan mencegah perbuatan jelek bagi perambahan hutan yang terjadi di hutan kami.
Sejak saat itu kami telah mengubah kekhawatiran kami menjadi pujian yang tak terhingga kepada perempuan itu, Ibu Guru Butet. Terima kasih kau telah datang kepada kami. Kau adalah perempuan yang telah membelah bulan, lalu memberikan setengah cahayanya untuk menerangi hidup kami. Kini kami tak bisa dibodohi lagi karena kami sudah bisa membaca dan behitung. Kami sudah bisa membaca buku, mencari pengetahuan dari kertas-kertas bertulis, menghitung berat timbangan dan menghitung berapa jumlah uang yang mesti kami terima.
*****
“Apo kito sudah sampe, Ibu Guru?”
Ibu Guru tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Masih jauh rupanya perjalanan kami ke kota. Setelah melalui jalanan berwarna hitam yang berkelok-kelok, naik-turun, kini mobil ini berhenti di depan sebuah gerbang. Di sana tertulis Bandara Sultan Thaha Saifuddin Jambi. Tak lama kemudian kami masuk ke sebuah bangunan. Aku sempat terkejut karena ruangan itu dingin sekali. Rupanya ada banyak sekali orang terang di sana. Duduk di tempat duduk yang berbaris rapih. Mereka putih-putih. Bersih-bersih. Bajunya indah-indah. Ada yang menggendong anak. Ada pula yang mirip seperti aku pakaiannya. Pasti dia juga mau ke kota seperti aku. Haha
Sejurus aku duduk, terdengar suara yang besar sekali di ruangan itu.
“Kepada seluruh penumpang pesawat Garuda Indonesia tujuan Jakarta dengan nomor penerbangan 7311AF harap memasuki pesawat sekarang juga. Kami ulangi sekali lagi…”
Aku, Limun dan Bu Guru bergegas menuju sebuah kendaraan yang sangat besar.
“Apo ini namonyo jugo mobil, Bu Guru? Tanyaku.
Ibu Guru Butet tersenyum mendengar pertanyaan luguku.
“Ini pesawat, Jetli.”
“Cam mano pulak jalan kendaraan ini, Bu Guru” Tanya Limun menimpali.
“Terbang…” Jawabnya singkat sambil membentangkan kedua tangan di dadanya.
“Apo…? Terbang, Bu Guru? Macam burung, begitu?” Aku penasaran.
Ibu Guru mengangguk.
“Aiiih…” Aku dan Limun menyeringai.
“Takut jatuh, Bu Guru!” Tegasku.
“Tak apa-apa, nanti kalian akan senang.”
Jambi, 17 Agustus 2011
[1] Orangtua (Ibu)
[2] Sebutan untuk orang luar
[3] Nama panggilan bos tempat menjual damar
Cerpen ini dinobatkan sebagai pemenang 1 dalam “Lomba Cipta Cerpen Pemuda Tingkat Nasional Tahun 2011”