25 Oktober 2009

BIARKAN PEMERINTAH OPTIMIS!

Almuttaqin/Qin Mahdy

Menteri baru, semangat baru! Demikianlah kiranya ungkapan rasa optimisme yang tergambar dalam benak Presiden, Wapres dan masing-masing jajaran menteri yang baru terpilih beberapa hari lalu. Namanya juga baru, tentu otak-otak mereka saat ini memang sedang sangat suci 100% (optimis) untuk memikirkan nasib rakyat kedepan, bahkan diantara mereka sudah ada yang membuat planning, walau nanti pada akhirnya ada sebagian dari mereka yang menyimpang dan mendobrak sumpah jabatannya menjadi pecundang yang hina-dina karena telah dikutuk oleh Al-Qur’an.
Kini masing-masing Menteri sudah diberikan tugas dalam kinerja 100 hari Pemerintahan, seperti yang telah dilakukan oleh salah satu Menteri Dalam Negeri, Ia sudah bergerak ke Sumatra Barat membawa nama Menterinya dalam hal menangani bencana.
Walau di luar sana masih banyak protes terhadap posisi sejumlah Menteri yang dinilai tidak kompeten, tidak profesional dan pembagian yang tidak adil, namun nampaknya ini sudah menjadi hak Priogratif Presiden yang tidak bisa diganggu gugat - bahkan oleh MPR dan DPR sekalipun. Apalagi kita yang cuma bisanya berkoar-koar, berteriak dengan mikrofon di tengah panas sambil membentangkan spanduk yang bertuliskan ”Pembagian Menteri tidak adil! Menteri ini harus diganti!” atau tulisan-tulisan lain yang terkesan sangat menantang.
Mengatasi masalah seperti ini, ada baiknya kita tak usah protes terlalu panjang, karena keputusan ini sudah disahkan dan sudah dijalankan. Biarkan Pemerintah optimis untuk menjalankan semua program yang telah direncanakan untuk kepentingan bangsa dan kesejahteraan sebagai priorotas utama mereka. Presiden kita tentunya lebih terhormat dan bijaksana dari Joss Bush, lebih vocal dari Amadinejad dan lebih pintar dari kita sebagai rakyat. Kita lihat dulu bagaimana program seratus hari ini kedepan, apakah berhasil, atau masih seperti program 100 hari yang direncanakannya pada periode sebelumnya yang mandek? Jika seperti itu, maka di sinilah tugas kita untuk mengingatkan dan meluruskan dimana letak keganjjilan yang mesti dibenahi. Tak usah kita main ribut-ribut atau adu jotos dengan polisi, itu tidak membawa hasil, justru membawa luka. Jika mati pun kita juga bukan atas nama rakyat, tapi atas nama nafsu angkara yang kadang membuat kita lupa dan tak bisa mengendalikan diri. Wallau'alam

20 Oktober 2009

SEJUTA ALASAN UNTUK TOLAK MIYABI

Oleh: Almuttaqin/Qin Mahdy

Miyabi - Sebuah nama yang cukup fenomenal di pekan ini menghiasi gendang telinga anak-anak Negeri, mulai dari mereka yang masih minum ASI hingga bapak-bapak yang sudah beristri. Ini sudah menjadi bagian dari resiko teknologi informasi setelah salah seorang Sutradara kondang Indonesia ingin mempersuntingnya untuk membintangi sebuah film komedi ”Menculik Miyabi” di Indonesia.
Saya sempat tertawa membaca berita ini di salah satu media massa, karena yang terbersit pertama di benak saya adalah harga diri filmmaker Indonesia. Entah mereka berniat lain saya tidak begitu paham, namun sebagai bangsa yang bermartabat dan khususnya bagi filmmaker kita harus cerdas. Kita harus bisa memberikan sesuatu yang berbobot kepada penonton, dan figur seperti ini pantas atau tidak untuk di ekspos kepada jutaan penonton yang mayoritas adalah orang-orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma keagamaan.
Saya sangat mendukung sekali berbagai aksi penolakan kerjasama dengan artis asal Jepang ini oleh berbagai kalangan di laur sana, bukan berarti saya pamer iman, tapi ini menyangkut harga diri bangsa dan perkembangan psikologis remaja kita kedepan. Kita harus berfikir lebih maju, jangan hanya sekedar mementingkan egoisme diri atau golongan, karena di luar sana banyak anak-anak lugu yang mesti dijaga kesuciannya, mesti dibela hak-haknya menyangkut hal-hal fositif.
Ada sejuta alasan mengapa saya menolak Miyabi untuk kerjasama dengan filmmaker kita, namun di sini saya hanya ingin memberikan satu saja yang paling urgensi menyangkut moral, dan ini sangat berakibat fatal bagi perkembangan remaja Indonesia ke depan bila ini terjadi, yaitu secara tersirat Miyabi ingin menyampaikan misi sex bebas bagi jutaan remaja Indonesia yang masih lugu-lugu. Walaupun di dalam filmnya tidak ada adegan-adegan panas umpamanya, namun image Miyabi akan menyampaikan pesan tersebut secara tidak langsung.

15 Oktober 2009

KABINET PROFESIONAL BUKAN PROPORSIONAL PARTAI

Almuttaqin/Qin Mahdy

Pasca kemenangan pasangan SBY-Budiono pada pemilu Presiden Juli lalu, kini politik Indonesia kembali memanas dalam hiruk-pikuk perekrutan dan penyusunan kabinet Indonesia bersatu tahap ke-dua. Seperti era sebelumnya Partai Demokrat dan partai-partai yang mendukungnya sebenarnya sudah diadakan semacam kesepakatan perihal "jatah" kursi kabinet. Misalnya, Partai Demokrar, PKS dan PAN diberikan jatah tiga portofolio. Sementara itu, PKB dan juga beberapa partai pendukungnya masing-masing mendapat jatah kursi. Belum lagi sejumlah nama dari kalangan bisnis yang konon memodali kampanye SBY pada debut Pemilu lalu.
Tentu, kenyataan seperti ini adalah satu hal yang sangat berat bagi SBY demi mewujudkan janjinya untuk menguatkan kekuatan negara dengan sistem presidensial. Kendatipun presiden terpilih memiliki hak priogratif, tetapi jika SBY gagal mengambil kebijakan akomodatif terhadap kepentingan banyak parpol koalisinya, harapan terbentuk pemerintahan efektif melalui penguatan sistem presidensial akan nihil terwujud.
Mau tidak mau, SBY juga harus mengakomodasi parpol-parpol pendukung koalisinya. Bukan hanya terkait dengan alasan kontrak politik, melainkan untuk keberlangsungan pemerintahan ke depan. SBY membutuhkan parpol untuk koalisi di parlemen untuk mendukung kebijakannya. Karena tidak mungkin pemerintahan dijalankan sendirian. Bahkan ini sangat berbahaya jika SBY tidak mengakomodasi parpol pendukung koalisinya.
Namun, di sisi lain SBY tetap dituntut profesional dalam menentukan orang di kabinetnya. Karena seorang menteri berpengaruh besar dalam mengantar kesuksesan pemerintahan. SBY harus memahami, penentuan seorang menteri tidak boleh sebatas berdasarkan pada desakan dan tuntutan kontrak koalisi. Perlu disadari bahwa kabinet adalah forum untuk bekerja, bukan sebagai kavling politik. Jadi tidak ada koalisi dan oposisi di dalamnya karena di balik kemenangannya ada kepentingan rakyat. Rakyat yang selalu berharap pemerintahan dijalankan oleh orang-orang kompeten agar keterpurukan nasibnya berubah ke arah lebih baik.
Seperti pengalaman Kabinet Indonesia Bersatu versi satu, ini harus menjadi pengalaman bahwa mencomot kader partai koalisi tanpa pertimbangan profesional dan kompetensi akan berujung pada kerugian, baik fisik maupun mental bagi bangsa ini. Akibatnya, banyak sejumlah menteri terpaksa didudukkan tidak berdasar. Ada misalnya seorang kader partai yang sama sekali tidak punya pengalaman di bidang perhubungan, tapi diangkat sebagai Menteri Perhubungan. Kader partai lain diangkat sebagai Menteri Pengembangan Daerah tertinggal, padahal ia sama sekali tidak punya expertise, apalagi pengalaman di bidang itu.
Jika SBY kembali mengikuti model rekrutmen menteri seperti masa lalu, keterpurukan pemerintah baru hanya akan menjadi persoalan waktu. Kabinet harus disusun berdasarkan prinsip profesionalisme, bukan proporsional partai. Dahulukan figur yang memiliki kombinasi keunggulan dalam praktisi dan teoretisi. Setiap orang yang ditunjuk harus benar-benar mempunyai moral dan etos kerja yang tinggi, bukan yang sejak awal sudah punya obsesi untuk memperkaya diri atau partai yang diwakilinya.


14 Oktober 2009

PENTINGNYA KEAMANAN UNTUK PERTUMBUHAN EKONOMI

Almuttaqin/Qin Mahdy

Koran SINDO, 25 Juli 2009

Sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak sebelum kemerdekaan 1945 dikumandangkan, sebenarnya telah menggoreskan sebuah catatan penting yang mesti menjadi pegangan kita dalam menelisik problem stabilitas dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Bahwa perekonomian sangat erat hubungannya dengan keamanan, itu bukan lagi sebatas wejangan kosong melompong, tapi justru sudah menjadi konsep nyata yang mesti dipegang erat bagi pemerintahan negara Indonesia.

Ini dapat kita lihat ketika bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda, kemudian disusul Jepang, apa yang terjadi? Ekonomi kita amburadul, sosial terabaikan, sehingga masyarakat pada waktu itu hanya bisa mengkonsumsi makanan seadanya. Padahal mereka memiliki lahan kebun dan ladang yang cukup luas. Ini karena keamanan tidak stabil, rakyat diperas, hasil bumi Indonesia dikuras, alhasil Indonesia waktu itu kehilangan harta kekayaannnya di tanah sendiri.

Masih soal keamanan, pada tahun 1998 tragedi demi tragedi kembali bergejolak. Mulai dari pertarungan etnis di salah satu sisi, pembantaian, hingga Reformasi digulirkan, apa yang terjadi? Indonesia waktu itu kembali mengalami krisis yang berkepanjangan yang imbasnya bisa kita rasakan sampai hari ini. Betapa harga-harga melonjak begitu tajam tak terkendali, angka kemiskinanpun semakin menggelembung dan jumlah itu membuat bangsa ini dikategorikan sebagi bangsa termiskin dan terlemah di dunia.

Dan ternyata pada tahun 2002 tragedi bom Bali 1 juga menyebabkan bangsa ini kembali memasuki masa-masa sulit, walau tidak seganas masa Reformasi. Namun, tragedi ini telah menyebabkan rupiah terperanjat dan ekonomi Indonesia melemah, karena berkurangnya turis dan investor-investor asing yang mau menanam saham di Indonesia. Bom Bali telah menyebabkan IHSG melemah tajam 200 poin dari Rp 9.600 menjadi Rp 9.800 per dolar Amerika (AS).

Baru-baru ini ancaman stabilitas ekonomi kembali menggoncang Indonesia, yaitu ledakan Bom di Hotel JW. Marriott dan Ritz-Carlton yang menewaskan 9 orang dan 5 lainnya luka-luka. IHSG sempat melemah akibat tragedi ini, namun menguat kembali 40,201 poin ke level 2.146,554. Walau tidak berakibat fatal bagi perekonomian bangsa untuk jangka panjang, namun setidaknya ada pelaku ekonomi yang dirugikan dalam tragedi ini, salah satunya club sepak bola papan atas Mancester United (MU) memutuskan tidak jadi datang ke Indonesia pada 18 Juli lalu.

Ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, baik itu para pelaku ekonomi, masyarakat sebagai konsumen, pemerintah dan terutama pihak yang bertanggunjawab atas stabilitas keamanan di negeri ini untuk selalu siaga dalam menjalankan tugas di segala lini. Jangan sampai ada celah untuk orang-orang yang ingin merusak bangsa ini dengan ledakan-ledakan yang lebih dahsyat lagi, karena ini sudah cukup membuat kita terperangah. Waspada itu mesti, karena hal ini menyangkut hak hidup orang banyak. Dan budaya “mencari payung setelah hujan reda” itu mesti kita campakkan jauh-jauh mulai hari ini.

13 Oktober 2009

MENGURANGI TRANSPARANSI MEDIA


Sejarah perjuangan Bangsa Indonesia jauh sebelum kemerdekaan 1945 dikumandangkan, sebenarnya telah menggoreskan banyak catatan penting yang mesti menjadi pegangan kita dalam menangani berbagai problem stabilitas keamanan di negeri ini, terutama masalah terorisme yang mulai merebak sejak runtuhnya WTC dan Ventagon pada 2001 lalu menyusul ledakan di Paddy’s Pub dan Sari Club Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang. Peristiwa ini sungguh membawa dampak buruk bagi citra Indonesia di mata dunia, termasuk travel warming yang dilakukan oleh banyak negara.

Menangani persoalan teroris bukanlah perkara yang gampang, sebab memburu teroris sama artinya dengan “mencari jarum dalam jerami”, walau bagaimanapun canggihnya peralatan yang kita digunakan, kemudian diturunkan berkompi-kompi pasukan Densus 88, kita akan tetap sulit untuk menemukan batang hidungnya jika transparansi media masih terus bebas memberitakan tentang pergerakan Densus 88 dan TNI dalam memburu Noordin M Top dan kawan-kawannya.
Beberapa hari lalu pasca penyergapan di Kedu misalnya, media kita berduyun-duyun memberitakan kematian Noordin M Top, namun toh Noordin M Top ternyata masih ayun-ayun kaki dan tertawa terbahak-bahak, menertawakan Indonesia dan media informasi kita yang terlalu over dalam pemberitaan.

Demikian pula dalam pemberitaan dan diskusi seputar pergerakan Densus 88 dan TNI, Seyogyanya peta pergerakan ini harus dirahasiakan, karena jika ini dipamerkan di hadapan publik, yang membaca informasi ini bukan hanya masyarakat Indonesia yang baik-baik, tapi teroris juga membaca media, mereka juga mengikuti pemberitaan di televisi. Artinya kita terjebak dalam skenario yang salah yang justru memudahkan mereka untuk mengambil langkah-langkah persembunyian.

Transparansi media dalam memburu teroris ini memang perlu dalam upaya sosialisasi kepada masyarakat luas, karena mereka adalah satu elemen penting yang tak boleh dipisahkan dari pencapaian keamanan di negeri ini. Namun, apa jadinya jika musuh tahu bagaimana pergerakan kita, strategi penyerangan yang kita gunakan, atau kita sedang memburu siapa, ini bisa melumpuhkan kerja keras aparat yang selama ini sudah diatur sedemikian rupa solidnya.

Semestinya kita harus kembali belajar pada pergerakan perjuangan Tentara dan Rakyat Indonesia zaman dulu pada operasi Gerilya yang diam. Pada waktu itu tak satupun media informasi yang memberitakan pergerakannya, skenario disusun rapih, toh pada 1945 kita bisa mencapai satu puncak kemerdekaan yang dinanti-nanti.

Oleh karena itu mengurangi informasi media terhadap pemberitaan pemburuan teroris adalah satu jalan yang mesti ditempuh jika Indonesia ingin cepat memperoleh hasil, karena dengan demikian kita telah membutakan mata teroris terhadap peta pergerakan Densus 88 dan TNI. Dan jika media memang ingin memberitakan tentang teroris beritakanlah seperlunya saja, jika itu dipandang tidak membahayakan bagi kepentingan perjuangan ini. (Almuttaqin/Qin Mahdy)

MELIHAT TINGKAH POLAH ELITE POLITIK LEWAT KARTUN


Judul : DARI PRESIDEN KE PRESIDEN
Penulis : Benny Rachmadi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : 1, 2009
Tebal : 333 halaman
Harga : Rp 80 000,-


Resensi
Oleh : Almuttaqin/qin mahdy
Koran Jakarta, 12 Agustus 2009

Wacana politik, seringkali dihidangkan ke hadapan masyarakat banyak berwujud dari suasana serius dan monoton, bahkan sangat lekat dengan aktifitas berfikir keras dalam IQ dan wacana tingkat tinggi. Sehingga di dalamnya sering muncul kata-kata ilmiah seperti oposisi, supremasi, perspektif, refleksi, dan masih banyak lagi kata-kata lainnya yang sangat ironis jika tak ditemukan di dalam kamus. Oleh sebab itu banyak masyarakat Indonesia terutama kaum remaja lebih memilih membaca cerita-cerita rekaan (fiksi) dan banyolan konyol ketimbang membaca buku-buku politik yang menurut mereka membosankan dan berbelit-belit.
Namun, ditengah gejolak politik yang sedang hangat-hangatnya pasca pemilu ini, kita tak perlu risau dengan wacana politik yang membosankan seperti yang digambarkan di atas. Sebab buku yang berjudul Dari Presiden ke Presiden karya Benny Rachmadi akan menawarkan sudut pandang baru untuk melihat serba-serbi gejala dan wacana politik di tanah air sejak masa tumbangya Soeharto 1998 hingga pemerintahan SBY 2009. Uniknya buku ini bukan berbentuk tulisan yang panjang, melainkan Benny telah mengubahnya menjadi gambar-gambar kartun yang khas dan lucu sesuai dengan karakter masing-masing tokoh politik.
Jika melihat dari kacamata sejarah, kartun politik seperti ini awalnya ditemukan di majalah Punch (sebuah media Inggris) pada tahun 1843. Ketika itu majalah Punch menerbitkan kartun berisi satir tentang pembangunan kembali gedung parlemen Inggris yang hangus terbakar. Kemudian kartun jenis ini mulai berkembang di Eropa, menyebar luas ke Asia dan Indonesia, sehingga hari ini pun kita bisa menikmatinya di banyak media massa di tanah air.
Perkembangan publikasi kartun di media massa dewasa ini cukup melejit, karena Indonesia adalah negeri yang full affair sarat peristiwa, terutama ketika dihadapkan pada tingkah polah elit politik, ini adalah satu perikehidupan di Indonesia yang sangat ironi. Seperti Habibie dengan kabinetnya yang tidak kompak, oleh Benny digambarkan Habibie sedang memimpin sebuah orchestra. Demikian pula ketika ia ragu untuk mengusut tap MPR RI No. XI Tahun 1998, ia digambarkan sosok yang lugu dengan jejak-jejak kaki yang berbelit-belit. Kemudian gambaran kabinet pelangi versi gusdur, gusdur utak atik pejabat, bongkar pasang kabinet, isu bumbu masakan berbahan tidak halal, Mega Wati dan flu burung, bom Bali, hingga gambaran presiden SBY menjadi tokoh populer pun digambarkan sedimikian unik oleh Benny dengan karakter yang utuh dan cukup mengena.
Buku ini adalah kumpulan kartun Benny yang merekam jejak wacana dan pelaku politik yang pernah dimuat pada Tabloid Kontan di mingguan dan harian sejak tahun 1998 hingga 2009. Seperti halnya teks, kartun adalah roh surat kabar (hlm. VIII) yang memiliki arti yang sangat dalam, ia seolah berbicara, bercerita, dan lebih-lebih ia akan membawa identitas bagi surat kabar yang memunculkannya.
Pemilik nama lengkap Benny Rachmadi ini adalah satu dari dua kartunis seri ”Lagak Jakarta” yang dikenal sebagai seniman yang jeli menyihir pahit-getir kehidupan bangsa Indonesia ke dalam kartun yang kocak. Bersama Mice ia melaporkan semua itu dengan bahasa gambar yang cerdas. Kadang, kendatipun sudah silam satu dekade, namun laporan Benny dan Mice masih tetap aktual, kocak dan bisa menjadi obat mujarab bagi siapa saja yang haus akan hiburan. Demikian pula dengan buku ini, sambil menyelam kita bisa menjejaki sari-sari sejarah perjalan politik bangsa yang penuh warna.

MELIHAT SISI LAIN B.J. HABIBIE


Judul : TESTIMONI UNTUK B.J. HABIBI
Penulis : Soeharto, dkk
Penerbit : Ombak
Cetakan : 1, 2009
Tebal : 476 hlm
Harga : Rp. 80.000,-





Resensi
Oleh : Almuttaqin/Qin Mahdy
Koran Jakarta, 6 Agustus 2009

Habibie, demikian nama ini terpatri pada Bangsa Indonesia sebagai teknologiawan jenius yang telah memutuskan mata rantai kemustahilan Indonesia untuk bisa membuat industri pesawat terbang sendiri, sebuah teknologi tingkat tinggi. Apa yang dilakukan Habibie dan timnya telah mengharumkan nama bangsa dan mampu menciptakan prestige yang sangat baik bagi bangsa ini di mata dunia. Tak bisa dipungkiri bahwa di dalam negeri tokoh jenius berdarah Pare Pare ini pun akhirnya menjadi Idol bagi semua kalangan, dicintai para anak-anak, dikagumi oleh remaja, bahkan menjadi idam-idaman banyak orang tua supaya anak-anak mereka nanti bisa menjadi Habibi-Habibi yang lain.
Sosoknya kian melekat di hati rakyat Indonesia tatkala dirinya diangkat menjadi Presiden RI menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri pada tahun 1998. Ia memimpin Indonesia dalam salah satu dekade politik yang paling carut-marut dalam sejarah negeri ini, yaitu pada masa tumbangnya kerajaan Orde Baru. Banyak kebijakan yang ia torehkan, namun tak selamanya mengundang pujian, bahkan celaan dan gunjingan lebih sering menghantui di balik kursi kepresidenannya yang berumur demikian muda.
Salah satu prestasi terbesar Habibie dalam percaturan politik tanah air adalah ia berhasil membuka kunci demokratisasi Indonesia menuju iklim yang terbuka, yang hasilnya bisa kita rasakan hingga hari ini. Walau masih banyak beredar isu tentang Habibie sebagai fotocopi Soeharto, namun pada hakikatnya ia bukanlah titah Soeharto. Sama halnya dengan wacana Soeharto yang dianggap fotocopi Soekarno. Toh Habibie memimpin Indonesia sangat berbeda dengan cara yang digunakan oleh Soeharto, walau memang sebagian kebijakan harus dilanjutkan menimbang tingkat urgensinya bagi kepentingan dan kestabilan negara pada waktu itu.
Ketika kita dihadapkan pada sosok Habibie, adalah sebuah keniscayaan yang sempit jika kita beranggapan bahwa dia hanyalah sekedar teknokrat dan mantan Presiden, karena sebagai manusia “jenius” tentu ia mempunyai sisi-sisi menarik dan khas tentang manis getir kehidupannya yang selama ini tidak pernah dibuka di muka publik. Mulai dari kehidupan perjuangan, tentang keteguhan hati, hingga pergulatan spiritual yang membuatnya selalu nyaman dan rileks menjalani hari-hari hidup dengan senyum di tengah hiruk-pikuk massa dan masyarakat yang selalu berkerut.
Sementara dari sudut pandang agama, Habibie dikenal dengan tokoh Islam yang sangat moderat dalam urusan agama. Mengayomi semua agama untuk saling toleran dan bantu-membantu dalam menciptakan kestabilan tanah air. Demikian pula kebesarannya tak kalah dengan Soeharto, buah tekad generasi korban perang ini namanya melambung ke banyak negara, hingga berhasil mengukir sejarah besar di Aachen-Jerman sebagai mahasiswa terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia.
Buku ini merupakan kumpulan beragam kisah yang dihimpun oleh penulis dari 100 lebih sumber, seperti Almarhum Presiden Soeharto, Jend TNI Soemitro, Gunawan Muhammad, dan banyak lagi tokoh publik lainnya. Ada kisah yang mengundang kekaguman, mengharukan, mengkritik, bahkan kisah jenaka dari kehidupan Rudy (panggilan waktu kecil) sang genius Indonesia ini akan mampu membuat hati kita seperti digoyang-goyang. Semua cerita hidupnya juga disampaikan lewat penuturan orang-orang terdekat dan orang-orang yang pernah bertemu dengannya, ini merupakan mutiara yang sangat berharga untuk memahami Habibie. Dan jika kita ingin bercengkrama untuk menyelami Habibie lebih personal, lihatlah ia dari kacamata para sejawat dan keluarganya yang disajikan dalam buku yang cukup renyah ini.